Cerpen

Satu dari Sekian

Warna biru pucat langit, berbagai bentuk awan, sinar mentari yang hangat menentramkan, dan hembusan angin dengan ritme teratur menambah kemegahan kibaran Sang Dwi Warna...
*
Sepatu bertanda contreng, motor buatan negara kepulauan lain, ponsel yang nampak seperti buah, jaket bergambar macan lompat, jam tangan dengan nama pembuatnya yang membuat lidah terpelintir ketika berusaha membaca  nama itu, tas punggung dengan logo olah raga kombinasi berkuda dan hockey, bahkan pensil dan penghapus pun keluaran negara Upin & Ipin. Mungkin tidak hanya Yosa yang seperti itu. Banyak dari kita pun dengan pahit harus mengakui bahwa keadaannya memang seperti itu.
            “Yos, bagaimana kemarin lomba debat bahasa inggrisnya?”
            “Menang, dong! Tidak terlalu susah kok, lawannya.”
            “Ah, memang kamu saja yang dasarnya sudah bisa casciscus bahasa inggris sejak lahir!”
            “Hahahaha. Sudahlah, nanti kalau aku mulai menyombongkan tentang tempat lahirku, kau malah makin sewot!”
            Lahir di sebuah kota bernama Bordeoux di Perancis membuat Yosa yang kini duduk di kelas XII SMA Frans de Sales sangat menguasai dua bahasa Internasional, Inggris dan Perancis. Dari lahir hingga berusia 10 tahun, Yosafat Anthares tinggal di Perancis bersama kedua orang tuanya yang asli Indonesia. Hanya saja karena urusan pekerjaan sang ayah, keluarga kecil tersebut harus tinggal di Perancis sekian lama. Meskipun selama dasawarsa mereka tinggal di Perancis, jika berada di rumah, Yosa dan kedua orang tuanya cukup sering berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Ketika kembali ke Indonesia, Yosa yang sudah menamatkan pendidikan dasarnya di Perancis, melanjutkan pendidikan di usianya yang tebrilang masih muda untuk menjajaki jenjang selanjutnya di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Saat SMA, ayahnya ditugaskan di Yogyakarta dan Yosa disekolahkan di sebuah SMA swasta biasa agar ia lebih lancar berbahasa Indonesia.
            “Pak, siomay satu, bakso satu, es teh dua, ya!”
            “Siap, bos!” ujar Pak Tarmin yang selalu siap melayani pelanggannya dengan penuh semangat.
            “Makasih ya, Yos,” kata Andre sembari menepuk pundak sahabatnya.
            “Santai, lah. Duduk di pojok sana, yuk!”
            Mereka berdua pun melangkahkan kaki menuju meja kantin paling pojok, dekat kolam ikan.
            “Oh, aku tau kenapa kamu pilih duduk di sini. Pasti biar leluasa lihat si Kirana, kan?”
            “Sok tahu kamu! Aku malah baru sadar kalau dia duduk di situ,” kata Yosa.
            “Halaaahh, ngaku saja! Hehehehe...”
            Yosa hanya meringis, supaya Andre tidak lagi menggodanya. Kalau terus ditanggapi, sampai jam istirahat selesai, bahkan sampai pelajaran mulai pun, Andre akan terus memperkuat argumennya dengan memberikan berbagai bukti yang dibuat-buat.
            “Yos, besok kan lebaran kita libur sepuluh hari, kamu mau pergi ke mana? Aku belom tahu mau ke mana atau ngapain. Bakalan mati bosan aku, nampaknya,” kata Andre sembari memakan siomaynya sedikit demi sedikit.
            “Belum tahu. Tapi kemarin Ayah ngajak ke San Fransisco,” jawab Yosa sembari menyeruput es tehnya yang terasa begitu segar di siang yang terik ini.
            “Wah, kamu ini melancong ke negeri tetangga terus. Kok jauh banget ke San Fransisco?”
            “Ya soalnya kami belum pernah ke sana. Hehehehe...”
            “Enak sekali jawabannyaaaaaa...”
            “Hahahaha. Sudahlah, lagipula liburan juga masih lama. Baru juga masuk minggu pertama bulan Agustus.”
            “Tapi kan aku harus mempersiapkan dari sekarang. Aku bosen liburan di rumah terus. Kan lumayan kalau kamu juga nggak ada acara, kita bisa main bareng. Bisa ajak Renold sama Viki juga.”
            “Ya sudah, kamu ajak Renold sama Viki aja.”
            “Iya juga, ya,” kata Andre sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.
            Yosa tertawa kecil melihat Andre yang nampak bingung. “Sudahlah, cepat dihabiskan siomaynya. Pelajaran Pak Oyot, nih. Jangan sampai telat masuk!”
*
Hawa dingin nan kering memeluk pertengahan bulan kedelapan dalam dua belas rentetan bulan. Yosa yang semalam sengaja memasang beker tepat pukul lima pagi agar tidak terlambat datang upacara bendera, sudah terduduk dengan mata waspada dan degup jantung yang menderu, padahal jam berebentuk matahari yang tergantung di dinding pucat itu masih menunjukkan tiga puluh menit lebih awal dari pengaturan bekernya.
            Yosa merasa hari itu begitu penting. Terlintas dalam benaknya, peristiwa 66 tahun yang lalu dan ratusan tahun sebelumnya, akan segala pertumpahan darah, pembelaan, dan kebanggaan yang kisahnya sudah terpatri dalam ingatannya. Semua sejarah yang selalu diceritakan Ibunya setiap kalender menunjukkan tanggal 17 bulan kedelapan dalam penanggalan masehi. Cerita yang terus diulang setiap tahunnya, di ruang tamu ber-perapian bata merah dan berkarpet coklat hangat, di sebuah rumah mungil nan nyaman, di belahan bumi Barat. Bukan rasa bosan dan keluh yang Yosa rasakan setiap Ibu mengulangi rentetan sejarah tersebut, melainkan rasa bangga dan memiliki yang semakin kuat ia rasakan. Rasa itu yang terus ia jaga sampai saat ini. Saat ke-17 kalinya ia mengalami tanggal 17 bulan kedelapan, saat tanggal 17 bulan kedelapan di satu tahun sebelum tahun perkiraan kiamat, saat ia duduk termenung dengan mata awas dan degup jantung yang menderu, saat hitam langit telah ternoda oleh semburat jingga, saat jam matahari itu menunjukkan pukul setengah enam pagi.
            Yosa meregangkan seluruh otot tubuhnya sejenak. Mengangkat tinggi kedua tangannya, seolah berusaha menggapai langit-langit yang jauh dari jangkauannya. Dan dengan gerakan tiba-tiba, ia berdiri, mengambil handuk yang tersampir lemah di kursi belajarnya, lalu bergegas membasuh semua mimpi kurang menyenangkan yang ia alami beberapa jam yang lalu.
            Kemeja putih lengan pendek dengan logo SMA Frans de Sales yang sudah tergantung di dalam lemari selama dua hari itu kini telah berpindah, celana panjang abu-abu dengan cara menyetrika salah yang menimbulkan bekas lipatan tegas, kaos kaki sepuluh sentimeter di atas mata kaki, dan sepatu hitam bertanda contreng putih. Semua melekat sempurna di tubuh tinggi nan tegap milik seorang Yosa. Ia mematut refleksi dirinya di cermin yang ukurannya nyaris setinggi tubuhnya, memastikan dirinya layak mengikuti upacara paling dinanti selama enam tahun ia menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi.
            “Yosa, ayo turun! Kita sarapan dulu, Nak!” suara rutin Ibu mulai terdengar.
            “Iya, sebentar lagi, Bu!”
Setelah memastikan dirinya layak dan siap, Yosa menyandang tas punggung hitam andalannya dan meraih kunci motor di meja komputer, lalu segera keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan langkah pasti.
            “Ini, pakai selai kacang dan meises. Susunya dihabiskan, ya,” kata Ibu seraya menyodorkan piring berisi setangkup roti tawar whole gain yang dibalas dengan ciuman di pipi oleh Yosa.
            “Bulan puasa seperti ini sekolahmu tetap ada upacara?” kini Ayah angkat bicara.
            “Iya dong, Yah. Kan sekolahku swasta. Lagipula memang sebaiknya upacara 17 Agustus tidak dilewatkan. Hanya meluangkan waktu satu jam sebagai sikap penghargaan atas apa yang bisa kita rasakan saat ini kan tidak berat,” ujar Yosa berapi-api.
            “Pintar sekali bicaramu, Yos!” Usapan lembut seorang Ayah pun mendarat di kepala Yosa.
            “Memang benar begitu, kan? Itu yang selalu Ayah dan Ibu tanamkan padaku sejak kecil. Harus ada rasa memiliki akan negara ini. Seandainya ya, semua orang tua seperti itu.”
            “Sudah, habiskan dulu sarapanmu. Hampir jam tujuh, Yos.”
            “Hah? Emang sekarang jam berapa, Bu?”
            “Jam enam seperempat. Hehehehe.. Bener kan hampir jam tuhuh?”
*
Daun berwarna kuning kecoklatan itu berhasil membuat Yosa berjengit kaget. Perasaanya semakin tidak karuan ketika ia melihat jam tangan peraknya yang jarum pendeknya berada di antara angka enam dan tujuh. Ini kali pertamanya mengikuti upacara 17 Agustus selama ia bersekolah di SMA Frans de Sales. Iya, saat kelas 10 ia tidak dapat mengikuti upacara karena sedang sakit demam berdarah dan harus rawat inap. Ketika kelas 11 pun ia tidak dapat mengikuti upacara. Bukan, bukan karena ia terkena demam berdarah lagi, tetapi karena ia sedang mengikuti short course selama empat bulan di Belgia.
            Jam tangan yang melingkari tangan kiri Yosa sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Yosa duduk di depan kelas dengan wajah heran. Upacara sudah hampir dimulai, tetapi kenapa siswa yang datang baru sedikit?
Diambilnya ponsel dari saku kanan celana dan segera ia menghubungi Andre. Terdengar nada sambung, namun sang pemilik nomor nampaknya tidak ada niat untuk mengangkat sambungan telepon. Yosa terus mencoba menghubungi sahabatnya hingga ia berhasil di percobaan keempat.
            “Hnngg.. Halo?” terdengar suara Andre.
            “Kamu di mana?”
            “Hoaahhhmm... Di rumah. Masih di kasur nih. Kenapa?”
            “Gila! Lihat dong, udah hampir jam 7 ini!”
            “Lha memangnya kenapa? Hari ini kan libur! Hoaahmm..”
            “Libur? Hari ini upacara 17 Agustus, Ndre! Ayo cepet ke sekolah!”
            “Halaaahh... Anak-anak juga udah pada janjian nggak berangkat kok. Kan cuma upacara, terus pulang. Buat apa? Males, Yos! Udah dulu, ya. Masih ngantuk. Bye!” Tut.. tut..tut..
            “Anak-anak”? Itu berarti tidak hanya Andre, tapi teman-teman lain juga tidak akan berangkat sekolah untuk upacara 17 Agustus? Gila! Mereka itu sudah tinggal di Indonesia sejak kecil! Apa sih susahnya meluangkan waktu satu jam untuk mengenang semua jasa pahlawan yang sudah membuat hidup kita jadi seperti ini? Yosa begitu kesal mengetahui kenyataan dan kebiasaan teman-temannya. Masih dengan kegusaran yang amat sangat, Yosa melangkahkan kaki menuju lapangan upacara yang hanya terisi oleh setengah siswa SMA Frans de Sales.
            “Pengibaran Sang Saka Merah Putih diiringi oleh lagu kebangsaan Indonesia Raya.”
            “Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku...”
            Pelan namun pasti, bendera negara Indonesia menuju puncak tiang. Semakin gagah berkibar dihembus angin. Setiap gerakan naik yang pelan namun pasti, mengingatkan Yosa akan semua cerita yang selalu diceritakan oleh ibunya. Kedatangan pasukan tentara Negara Kincir Angin ke Indonesia, penjajahan yang mereka lakukan selama tiga setengah abad, mundurnya pasukan Negara Kincir Angin yang digantikan dengan pasukan Nippon yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia, yang menjanjikan kemerdekaan dan kesejahteraan, namun faktanya tetap penindasan yang terjadi. Berbagai perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia berbekal senjata bambu runcing, usaha merebut kembali tempat yang diduduki tentara Nippon, kembalinya Belanda mengisruh di Indonesia, penyobekan bendera Belanda oleh bangsa Indonesia,  rentetan usaha dan peristiwa yang mengiringi persiapan kemerdekaan Indonesia, hingga akhirnya Proklamasi dikumandangkan, bendera Merah-Putih mengangkasa, diiringi lagu Indonesia Raya. Terbayang dalam imajinya, bagaimana semua peristiwa itu terjadi. Bagaimana kesedihan dan penderitaan melanda bangsa Indonesia pada awalnya hingga terhapus semua kesedihan akibat penderitaan ketika melihat Sang Merah Putih berkibar dengan legal.
            Bibir Yosa bergetar menahan haru yang ternodai rasa jengkel karena ulah teman-temannya. Momen sepenting ini mereka lewatkan dan lebih memilih untuk menjaga diri tetap terbuai dalam mimpi. Luar biasa. Nampak sekali kalau setiap pelajaran Sejarah dan PKn, mereka pasti hanya sibuk berbicara satu sama lain atau bahkan menjadikan buku paket sebagai media ke alam mimpi.
*
“Hai, Yos!”
            Yosa diam saja menatap Andre yang nampak begitu bersemangat pagi ini.
            “Heh, kamu tuh kenapa?”
            “ Nggak.”
            “Masalah kemaren itu?”
            “Yaelaaahhh. Yosa.. Yosa.. Kamu ini berlebihan deh! Cuma gara-gara kemaren aku sama anak-anak lain pada nggak dateng upacara, terus kamu ngambek? Apaan deh!” Andre berjalan memutari meja di mana Yosa duduk.
            Yosa mengarahkan tubuhnya pada Andre yang kini sudah duduk di sebelahnya.
            “Ndre, selama aku sekolah di sini, baru kemaren aku ikut upacara 17 Agustus yang selalu aku tunggu tiap tahun. Apa dua tahun yang lalu juga nggak banyak siswa yang dateng upacara?”
            “Kamu nungguin upacara 17 Agustus? Hahahaha. Aneh kamu ini!”
            Yosa tetap diam, menunggu Andre melanjutkan jawabannya.
            “Nggg... Santai lah, Yos! Jadi, dulu waktu kelas 10, aku sama anak-anak sih pada dateng upacara karena kita anak baru yang masih taat aturan. Terus waktu kamu ke Belgia dulu itu, aku udah mulai males dateng upacara 17-an.  Buat apa juga sih? Kan bisa lihat siaran langsung upacara Istana Merdeka di TV.”
            “Jadi, menurut kamu, ikut upacara 17-an itu nggak penting? Terus apa upaya kamu menghargai jasa pahlawan kemerdekaan?”
            “Kamu kok jadi kayak guru Pak Toni gini sih?” ujar Andre, menyebut nama guru PKn di SMA Frans de Sales.
*
Berbagai pemikiran mengenai teman-temannya yang tidak menghadiri upacara 17-an masih memenuhi benak Yosa. Dia tak peduli dengan anggapan Andre mengenai dirinya yang sok cinta Indonesia karena dia memang benar-benar merasa prihatin dengan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap negaranya, baik di masa lalu maupun di masa kini. 
            Yosa melempar tas punggungnya begitu saja ke pojok kamar. Dibukanya satu per satu kancing kemeja putih hingga kancing kelima, dilepaskannya kemeja tersebut, hingga hanya tersisa kaos putih lengan pendek yang sedikit basah akibat keringat. Yosa menyalakan televisi meskipun ia tidak berniat untuk menontonnya, lalu ia melangkahkan kakinya menuju ke depan cermin, memandang sosok maya di hadapannya. Sosok yang dianggap sok cinta tanah air oleh sahabatnya sendiri. Hal yang biasa dilontarkan dalam candaan. Namun Yosa tidak dapat melupakan begitu saja perkataan Andre tersebut.
            “Kamu itu memang lahir di Bordeoux! Kamu memang fasih berbahasa Inggris dan Perancis! Kamu juga selalu memakai berbagai macam produk keluaran produsen yang namanya dikenal seluruh dunia! Tapi kamu itu orang Indonesia! Jadi, kamu harus mencintai Indonesia! Apa hal yang menunjukkan kecintaanmu pada Indonesia?! Apa?! Paling-paling sejarah kemerdekaan yang kamu ketahui hanya sejarah kemerdekaan negara asing itu!” Yosa berteriak pada sosok di hadapannya. Nafasnya terengah-engah. Seluruh emosinya ia luapkan. Komunikasi satu arah yang berusaha ia buat dua arah agar lebih nyata itu telah berhasil membuat perutnya yang sudah berkeriuk semakin parah keadaanya.
            “Iya, aku lahir di negara Eiffel itu. Tapi itu bukan kehendakku. Aku  tidak bisa memilih. Iya, aku fasih berbahasa Inggris dan Perancis. Itu semua terbentuk karena kondisi lingkungan yang membuatku untuk menggunakan kedua bahasa itu semenjak aku kecil. Tapi tidak ada sedikit pun bahasa Indonesia yang tidak kuketahui. Masalah barang yang aku pakai, memang, sebagai warga Indonesia yang baik, aku harus menggunakan produk dalam negeri. Itu tidak berarti segala barang yang kugunakan harus made in Indonesia kan? Alasanku, belum semua produk Indonesia baik kualitasnya dan karena aku memang sudah terbiasa menggunakan beberapa merk luar  negeri. Untuk menggunakan merk lain, butuh adaptasi dan waktunya tidak sebentar untukku. Tapi lihatlah, furniture yang ada di rumah ini, baju batik yang menguasai setengah lemari pakaian 3x3 meter milikku, semua karya masyarakat Indonesia! Tidak penting hal-hal material diperdebatkan, yang penting bagaimana keadaan hati kita terhadap bangsa ini. Apakah ada kesan takzim ketika menyebut ‘Indonesia’? Apakah mengerti sejarah Indonesia? Apakah sudah pernah terlibat dalam mengharumkan nama bangsa? Apakah telah berbuat yang terbaik bagi negara ini? Berbuat baik yang bukan hanya dengan mulut dan suara, melainkan dengan perbuatan yang dilandasi hati seorang nasionalis.”
 Yosa menuturkan semuanya dengan begitu lancar dan tenang. Ia terdiam. Sosok di hadapannya pun terdiam. Hanya terdengar suara televisi dalam volume sepuluh yang sedang menayangkan berita siang. Kedua sosok itu nampak sedang meresapi apa yang ‘mereka’ katakan. Indonesia, sejarah, kemerdekaan, penghormatan, nasionalis. Kelima kata tersebut memenuhi pikiran.
            Menarik nafas perlahan, menatap tajam sosok di depannya, menyunggingkan senyum terbaik, lalu melangkah menuju jendela kamar yang menghadap ke halaman depan rumah bercat kuning gading tersebut.
            “Indonesia memiliki sejarah yang panjang untuk meraih kemerdekaan. Penghormatan terbaik harus dipersembahkan bagi para pahlawan, bagi Indonesia. Nasionalis. Itu yang dibutuhkan dan harus dimiliki oleh setiap jiwa di bumi pertiwi ini...”
            Sang Dwi Warna berkibar, mengingatkan Yosa akan gelora perjuangan untuk mengibarkan bendera Merah-Putih.
            “Kembali terjadi kericuhan dalam pertandingan persahabatan sepak bola antara Indonesia melawan Korea Selatan yang berlangsung tadi malam di Stadion Gelora Bung Karno. Para pendukung Tim Nasional Indonesia membuat pertandingan terhenti selama 15 menit karena mereka menggunakan kembang api dan petasan yang sangat mengganggu jalannya pertandingan...”
            Masih menatap kibaran megah Sang Dwi Warna, Yosa menghembuskan nafas kecewa.
            

Agatha Elma Febiyaska 

Comments

Popular Posts