Cerpen
Makna
Aku menyesal mengenalmu! Sungguh!
* * *
“Semoga hidupmu selalu penuh dengan senyuman, yaaaa...”
Aku ingat betul doa itu. Kesembilan sahabatku mengucapkan doa itu ketika aku berulang tahun ke-17, dua tahun yang lalu. Aku juga ingat betul, ketika itu aku tersenyum lebar dan memeluk mereka.
Seminggu setelah itu, aku berkenalan denganmu. Aku bangga bisa mengenalmu karena kamu begitu populer. Banyak orang menggembar-gemborkan kebaikanmu, kecantikanmu, dan segala hal yang baik dari dirimu. Seolah kau tanpa cacat. Kau sempurna. Dan aku bangga karenanya.
Semenjak kenal denganmu, kisah hidupku menjadi lebih variatif. Aku senaaaaaang sekali. Aku selalu merasa kamu bisa membuatku tersenyum. Tak ada yang bisa melakukannya lebih baik darimu! Tanpamu, aku tak bisa dekat dengan cowok yang kutaksir. Kau memang hebat!
Dari benda langit berwarna jingga kekuningan memulai tugasnya, hingga bertukar tugas dengan benda langit lainnya yang berwarna keperakan menenangkan, kau selalu ada. Ya, aku egois. Aku ingin kau menjadi sahabatku seutuhnya karena kau selalu membuat hari-hariku menjadi menyenangkan dan penuh hal positif. Aku tak ingin kehilangan kehidupan yang begitu indahnya, makanya aku tak mau kehilanganmu.
Aku memujamu. Ya, tentu saja aku sangat menyukaimu dan ingin menjaga hubungan denganmu sebaik mungkin.
* * *
Kisah satu...
“Kamu kok tega banget sih? Dari kalian semua, cuma kamu yang aku percaya dan kamu berjanji mau membantuku. Itu, perbuatanmu itu, apa termasuk dalam kategori membantu? Seneng ya kamu bisa jalan sama dia dengan alasan mau mengorek sebanyak mungkin informasi tentangnya untukku? Hebat! Itu sangat membantu, SOBAT!”
Ha! Grata menangis! Sudah bisu, cengeng pula!
Yeah, aku tau kata-kataku kasar. Tapi aku kesal dengannya! Siapa yang tidak kesal pada sosok dengan karakter seperti itu?
***
Kisah dua...
“Aku suka sama dia! Dia itu manis, jago main gitar, jago futsal, everything deh!”
“Iya, sih. Dia keren kok! Gebet aja! Aku dukung kamu sepenuhnya!” aku mengacungkan kedua ibu jariku sembari meringis, seolah sengaja pamer kawat penyiksa yang menempel di gigiku.
Stella mencurahkan semua perasaannya terhadap Dio padaku setiap saat, melalui pesan singkat atau pun secara live ketika ia bertandang ke rumahku. Aku, yang kata orang adalah pendengar yang baik, dengan senang hati mendengarkan ceritanya dan memberikan support mental padanya. Aku senang sekali melihatnya berbunga-bunga seperti itu. Akan lebih senang kalau aku bisa membantunya untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Dio. Dua bulan yang lalu, Stella putus dengan pacarnya. Ketika itu usia hubungan mereka sudah menginjak bulan ke dua puluh tiga. Si cowok yang memutuskan untuk berpisah dengan alasan klasik: bosan dan merasa sudah tidak cocok lagi. Stella pun langsung menghambur ke pelukanku setelah kisah dua puluh tiga bulannya berakhir. Dan sekarang, melihatnya bisa mengalihkan kesedihannya ke cowok lain, membuatku lega dan senang karena Stella tidak terus larut dalam kesedihannya.
Bulan berlalu, namun hubungan Stella dan Dio tidak ada kemajuan. Berbalas pesan singkat memang sudah menjadi rutinitas mereka, namun isi dari pesan-pesan tersebut tidaklah menunjukkan kemajuan akan hubungan mereka. Stella tidak lantas menyerah. Ia tetap bertahan dalam keadaan stagnan tersebut. Nampaknya perasaannya terhadap Dio sudah naik ke level yang lebih tinggi.
Statis. Hingga suatu petang, Dio mengirim pesan singkat padaku, aku membalasnya, lalu ia membalasnya lagi, dan aku membalas balasannya, begitu seterusnya hingga aku mencapai puncak ketahananku untuk tetap membuka mata. Kupikir hanya satu hari, namun hari berikutnya, hari kelima, minggu pertama, minggu kedua, hingga bulan pertama. Rasa nyaman mulai menggerogoti prinsipku untuk menjaga jarak dengan Dio.
To: Dio <08122334455>
Aku suka sama km, yo. Udh, gak usah digubris. Aku cm pengen km tau. Thanks:)
From: Dio <08122334455>
Gak bs aku gak gubris pernyataan km. Krn aku sayang sama km :)
To: Dio <08122334455>
Gak, yo. Gak bs kyk gini. Km gak blh sayang sama aku. Stella sayang sama km, yo!
From: Dio <08122334455>
Hah? Aku gak prnh tau itu. Dan kalo pun gitu, aku gak suka sama dia. Aku suka sama kamu, Huillina Friska Geneva!
Aku mematikan ponselku. Berusaha mencerna semua kejadian yang berlangsung dengan cepat itu. Perasaanku kacau. Awalnya setetes, lalu semakin lancar saja air itu keluar dari mataku...
***
Kisah tiga...
Berat memulai kisah ini. Karena aku berniat untuk mengakhiri semuanya. Namun kenapa selalu ada awal yang baru, pun saat aku tak menginginkannya? Dan kenapa aku tak mampu menolak bergulir dan terjalinnya kisah demi kisah?
Senior. Berperawakan tinggi, jago olah raga, dan humoris. Sosok yang tiba-tiba membuatku kagum dan tak bisa berhenti memikirkannya meskipun aku berusaha untuk melakukan yang sebaliknya.
Aku tersenyum melihatnya tertawa, aku menunduk ketika ia menyadari pandanganku. Aku lebih banyak diam kali ini. Aku tidak ingin menjadi pembuka kisah seperti apa yang kulakukan sebelum ini. Aku tidak ingin melakukan hal yang membawaku pada akhir kisah yang sudah kuduga akan memberikan goresan lebih dalam lagi di sana, jauh di dalam sana.
Aku sudah cukup senang mengetahui bahwa ia mengenalku. Aku sudah cukup senang bisa memberikan senyuman terbaikku ketika ia tersenyum padaku. Aku sudah cukup senang menimpali ujarannya yang singkat. Aku sudah cukup senang melihatnya online tanpa harus memulai menyapanya melalui fasilitas chatting yang disediakan jejaring sosial itu. Aku sudah cukup senang melihat fotonya di akun jejaring sosialnya ketika aku tidak bisa melihatnya secara langsung selama sekian minggu.
Segala sesuatunya dalam kisah ini aku buat cukup, sesuai dengan porsinya. Sehingga tidak ada hal yang berlebih ketika (aku tahu pasti ini akan terjadi) ia sudah memiliki obyek untuk mencurahkan perasaanya dan tidak akan lagi memandang ke arahku.
***
Aku muak dengan semua kisahku! Ini semua gara-gara kamu!
Awalnya memang aku begitu senang bisa memilikimu, sahabat yang diidamkan setiap insan. Tapi setelah waktu berlalu dengan kehadiranmu dalam setiap kisahku, aku merasakan bahwa kamu bukannya membawa dampak positif bagi kehidupanku, malah membuatku semakin kacau.
Awalnya aku percaya kalau kamu bisa membuatku dekat dengan cowok yang aku sukai. Tapi mana buktinya? Semua perkataan orang mengenai dirimu ternyata salah! Tak satu pun cowok yang aku inginkan, bahkan yang sudah aku sayang, dapat kumiliki! Kepercayaanku padamu sudah terkikis habis!
Awalnya aku memujamu dengan segala kehebatan yang kamu miliki, tapi semua pemujaan itu sirna sekarang! Aku kecewa padamu! Orang lain bisa kamu buat bahagia, tapi kenapa aku tidak? Kamu bukan teman yang baik ternyata. Kamu pilih kasih!
Mengenalmu membuatku kehilangan kepercayaan akan sahabatku, Greta. Mengenalmu membuatku menangis karena bingung mana yang harus aku pilih: kamu atau Stella? Dan mengenalmu membuatku menjadi pribadi yang semakin waktu semakin tertutup, semakin berusaha menutup hatiku dan mematikan perasaanku agar tidak lagi terkontaminasi olehmu!
Mengingat namamu saja sudah membuatku mendengus jijik. Tapi aku harus memberitahukan namamu kepada orang lain agar tidak semakin banyak korban berjatuhan karena berdekatan dengan dirimu, CINTA!
***
“Friska! Sepicik itu kah pendapatmu mengenai cinta?” Reiga menatapku tak percaya setelah menghamburkan lembaran kertas yang tadi, beberapa menit yang lalu, kusodorkan dengan penuh kebanggaan. Semua yang kurasakan kucurahkan dengan entengnya dalam sebuah cerita yang kupikir akan membuat orang lain, termasuk sahabatku yang satu ini, berdecak kagum hingga menyatakan kesamaan pendapat dengan apa yang kuuraikan dalam empat lembar kertas tersebut.
“Kalau iya, kenapa? Memang begitu adanya kan? Apa kamu tidak menyadari itu? Refleksikan hidupmu selama ini! Dan kamu akan mendapati bahwa cinta memang telah membuat kita terjatuh berkali-kali seolah tanpa ampun akan terus mendera kita!”
“Kamu tuh yang seharusnya merefleksikan hidupmu!”
“Itu hasil refleksiku!” kataku sambil menunjuk kertas-kertas yang berserakan.
“Gila! Sinting!”
“Kamu yang tidak waras karena menganggapku sinting!”
“Friska! Makna cinta tidak sesempit itu!—”
“Lalalalala...” Suara sumbangku terpaksa kukeluarkan. Aku tidak mau mendengarkan argumen Reiga. Dia itu pemuja cinta. Semua yang disampaikannya pastilah sesat belaka.
“Friska! Dengerin aku!”
Aku menutup kedua telingaku dengan tangan.
“Kamu memaknai cinta hanya dari segi ‘kehidupan percintaanmu’ dan menjadikannya sebagai makna cinta secara menyeluruh. Itu salah, Ka! Cinta bukan hanya mengenai kehidupan percintaan antara dua insan manusia!” Suara Reiga masih mencoba menerobos melalui celah-celah tanganku. Aku menjumput kapas kosmetik, lalu menjejalkannya ke lubang telingaku.
“Inget, Ka! Cinta nggak hanya berputar dalam kehidupan percintaan dua insan! Ingat akan semua perhatian Papa Mama sama kamu! Ingat tingkah Bruno yang selalu melonjak dan menggonggong kegirangan setiap kali melihatmu masuk ke rumah! Ingat Bibik yang selalu ada buat ngebantu kamu sejak kamu kecil! Ingat aku dan semua sahabatmu yang selalu ada setiap kamu butuh tempat untuk cerita, yang selalu ada di hari-hari spesialmu! Itu semua cinta, Ka! CINTA!”
Suara Reiga yang semakin menguat itu pun tak mampu ditahan oleh kapas yang menjejali lubang telingaku. Kucabut kapas-kapas itu dan kulempar ke lantai.
“TAPI KENAPA CINTA NGGAK BISA BIKIN AKU PUNYA PACAR, GA?! KENAPA?! CINTA SELALU MEMBUATKU JAUH DARI SEMUA COWOK YANG AKU SUKA!! PERSETAN SAMA CINTA! CINTA ITU T*I!!!”
Mukaku memerah, air mataku mengalir tiada ampun. Aku marah dengan Reiga! Aku benci argumennya! Argumennya salah!
Bukannya balas memakiku atau bahkan menamparku, Reiga malah mendekatiku. Apa yang di lakukan? Apa dia akan menghantamkan kepalaku ke dinding kamarku sendiri? Apa dia akan mendorong dan menendang tubuhku hingga jatuh berguling-guling menuruni anak tangga demi anak tangga? Apa dia akan melempariku dengan semua koleksi botol parfumku yang berada di meja rias, yang berdiri menawan di sisi kananku? Aku merapatkan tubuhku ke dinding. Semua dugaan itu memenuhi kepalaku. Membuat pandanganku menatap panik ke segala penjuru ruangan, mencari di mana letak tongkat bisbol Rio yang belum sempat kukembalikan, memastikan pintu kamarku tidak terkunci sehingga aku dapat kabur sewaktu-waktu. Reiga semakin dekat.
Kurasakan tubuhku memanas dan lemas. Terduduk di lantai, semakin liar menangis. Bukan lagi karena panik, melainkan karena rasa tidak percaya akan apa yang dilakukan Reiga setelah apa yang kulakukan terhadapnya. Ia memelukku. Memelukku dengan erat, membisikkan, “Ini juga merupakan salah satu kehebatan cinta, Friska. Ketika seorang sahabat tetap ada untuk mendukung dan membimbing sahabatnya ke arah yang seharusnya. Cinta bukan hanya masalah suka antar insan. Makna cinta lebih hebat dari itu. Kamu tidak punya pacar sampai sekarang, tapi kamu memiliki banyak sosok yang lebih penuh cinta. Papa, Mama, Bibik, Bruno, aku, Stella, Gretta, dan sahabat-sahabatmu yang lain. Itulah cinta yang sesungguhnya. Cinta yang sejati, abadi, dan tulus...”
♥ Agatha Elma Febiyaska ♥
ini cerita apa curhatan?
ReplyDelete