Cerpen
Pemburu Merapi
“Nas, mau ke mana kamu?”
“Bentar, budhe. Aku mau keluar sebentar!” Inas berlari keluar rumah berpilar nan gagah tersebut. Pandangannya tertuju pada bentuk tanah yang menonjol di kejauhan sana. Jauh, jauh sekali dari tempatnya berdiri dengan nafas terengah sekarang ini. Seperti biasa, dengan tangan bergetar, ia mengangkat kamera SLR-nya, membidik tonjolan tanah tersebut, dan menekan shutter. Tanpa melihat hasilnya, ia segera mematikan kameranya dan berjalan pulang dengan penuh kelegaan.
“Habis dari mana to kamu, nduk?”
“Motret, budhe. Mumpung kelihatan jelas.”
Budhe Tutik tersenyum iba pada sosok gadis berparas ayu di depannya.
“Aku ke kamar dulu ya, budhe.”
“Iya, nduk. Sudah sarapan?”
“Sudah, budhe,” jawab Inas sembari berlari ke kamarnya yang terletak di lantai dua.
Laptop berlogo apel tidak utuh, pendingin ruangan, kasur empuk dengan bantal-guling super empuk, lemari besar dengan cermin melebihi tinggi tubuh, meja belajar yang menyatu dengan rak buku, rak sepatu berisi berbagai sepatu dengan berbagai logo, dan kamera SLR yang masih tergantung di leher. Tatapan Inas menjelajahi seluruh penjuru ruangan 6x6 meter yang tak lain tak bukan adalah kamarnya. Kamar yang masih terasa asing baginya setelah satu tahun ia menempati kamar tersebut. Segala kemewahan dan fasilitas itu masih terasa mengganjal di matanya. Apalagi di hatinya. Tidak biasa dan tidak kepenak. Namun ia harus menerimanya karena ia tahu, Budhe Tutik benar-benar sayang dan peduli padanya. Inas menghela nafas panjang, lalu mengambil laptop dan menuju kasur. Dinyalakannya laptop dan kamera. Perpindahan pun dilakukan dari kamera ke laptop. Tiga gambar tonjolan tanah yang berhasil dijepretnya selama seminggu, kini telah bersarang di folder berjudul M, tempat hasil semua jepretan dengan obyek yang sama. Kembali terjadi perpindahan, sekarang dari laptop ke flashdisk berbentuk babi pink. Setelah selesai, Inas memasukkan flashdisk dan ke dalam tas kecil berwarna cokelat, mengambil kunci motor matic pink yang sudah menemaninya sepuluh bulan ini.
“Budhe, Inas mau cetak foto dulu, ya!”
Budhe Tutik kembali tersenyum. Iba. Inas hafal sekali senyuman itu. Namun Inas berusaha untuk tidak peduli karena kepeduliannya akan menguak apa yang selama ini berusaha disimpan baik-baik.
Tanpa menunggu jawaban Budhe Tutik, Inas segera menuju garasi, menyalakan mesin motornya, dan tancap gas menuju tempat cetak foto.
Tiga lembar. Satu minggu menghasilkan tiga lembar. Di luar kebiasaan. Biasanya, satu minggu dapat satu lembar saja sudah syukur...
Inas menempelkan satu per satu hasil cetakan tersebut di dinding yang sebagian sudah penuh dengan gambar yang sama, dengan berbagai sudut pengambilan. Senyum terulas di bibirnya. Sebuah senyum yang menyimpan banyak kisah dan kepedihan, yang berusaha tidak diungkit lagi, namun tetap abadi dalam kenangan.
Sesuatu meleleh dari mata Inas yang mulai terasa memanas. Pusaran kenangan itu kembali muncul. Kakinya terasa lemas hingga akhirnya ia berubah dari posisi semulanya berdiri menjadi duduk di lantai, meremas erat boneka yang berada paling dekat dengannya.
“Iya, aku kangen Bapak, Ibu, Dik Agung...” ucap Inas di sela tangisnya.
Kelegaan yang tidak akan pernah terpenuhi secara sempurna. Biasanya orang menangis ketika sedang menghadapi masalah atau perasaannya sedang kalut supaya merasa lebih lega. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Inas. Mau menangis seperti apa pun dan selama apa pun, kelegaan yang dialami orang-orang itu tidak pernah ia alami. Semakin ia menangis, semakin terasa semua penyebab tangisnya itu.
Pipinya yang tadinya basah kini sudah terasa kaku. Tidak ada lagi air mata. Yang ada sekarang hanyalah rasa sakit di kepalanya. Hal yang biasa terjadi setiap kali Inas menangisi hal yang sama. Rasa sakit itu muncul karena usaha Inas untuk menolak setiap kenangan yang muncul di kepalanya. Ia ingin menyimpannya, bukan memutarnya setiap saat. Ia ingin kenangan itu diam saja di dasar hati dan pikirannya, tidak perlu repot-repot berkelebat setiap kali ia menangis. Namun, seperti semua orang tahu, tidak ada yang dapat mencegah hal seperti itu...
* * *
Inas terduduk lemas di beranda kamarnya. Sudah empat hari ini ia tidak menyentuh kameranya. Obyek fotonya tersembunyi di balik putih itu.
“Mungkin dengan kayak gini aku jadi lebih bisa mengontrol emosiku. Nggak terus-terusan nangis. Kasian Bapak, Ibu, Dik Agung...”
Tok.. tok.. tok..
“Ndhuk, Budhe masuk ya?”
Inas tersentak dari lamunannya dan segera beranjak untuk membukakan pintu.
“Kenapa, Budhe?”
“Hmmm... Budhe sama Pakdhe mau ke atas. Kamu... kamu mau ikut ndak?”
Kembali Inas tersentak. Padahal sudah beberapa kali dalam setahun terakhir ini Budhe menawarkan hal yang sama.
“Ya sudah kalau kamu ndak mau. Kamu capek ya? Budhe pergi dulu, ya. Nanti kalau mau makan, bilang Mbok Sumi saja,” kata Budhe sembari mengelus lembut rambut Inas.
Inas masih terdiam dengan mata menerawang meskipun Budhe Tutik sudah tidak terlihat lagi sosoknya. Perlahan air mata pun mengalir. Tangis yang kesekian kalinya...
* * *
26 Oktober 2010. Hiruk-pikuk sudah berlangsung sejak kemarin ketika Gunung Merapi dinyatakan memasuki status Awas. Tapi aku hanya bisa panik dan menangis di sini, di Jakarta. Aku sedang mengikuti karantina kontes model majalah. Aku ingin pulang, aku ingin menemui Bapak, Ibu dan Dik Agung yang tidak bisa kuhubungi sejak aku mendengar berita Merapi mengeluarkan bunyi letusan sebanyak tiga kali disertai turunnya awan panas dari panitia. Aku ignin tahu keadaan semuanya! Keluargaku... Rumahku... Rumahku dan keluargaku ‘di atas’ sana...
27 Oktober 2010. Gunung Merapi sebagai gunung berapi teraktif di dunia meletus. Dan aku pun masih tetap berlatih berjalan di catwalk untuk malam grand final besok dengan mata sembab dan ketidaktahuan mengenai kabar keluargaku. Teman-teman karantina lainnya selalu memelukku setiap waktu istirahat. Aku ingin pulang, ingin!
“Maaf, Inas. Kami tahu bagaimana perasaanmu,” Nggak! Kalian nggak tahu! “tapi kami tidak bisa memulangkan kamu sekarang. Tiket pesawat yang sudah kami pesan untuk semua kontestan berlaku untuk dua hari mendatang. Sebagai permintaan maaf kami, kamu boleh menggunakan handphone untuk menghubungi keluarga kamu di Jogja.” AAARRRGGGHHHH!!! Kata-kata panitia kemarin itu membuat kesedihanku semakin menjadi!
28 Oktober 2010. Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas keluar terus-menerus. Aku menggunakan ‘keberuntunganku’ dengan baik. Aku mengakses internet siang-malam untuk mengetahui perkembangan keadaan di Jogja meskipun dengan semakin mengetahui apa yang terjadi, hatiku semakin sakit dan air mataku semankin deras mengalir. Bagaimana keadaan Bapak, Ibu, Dik Agung? Mereka berada di pengungsian mana?
Nanti malam grand final. Aku merasa sudah siap setelah melalui serangkaian latihan. Aku sama sekali tidak takut ataupun grogi. Karena pikiranku tidak berada di sini...
Malam grand final usai sudah. Dan piala sebagai pemenang pertama kontes model majalah itu ada di tanganku beserta sebuket bunga mawar merah dan papan bertuliskan nominal yang berhak dibawa pulang oleh sang juara. Sementara MC menyampaikan sederet hadiah yang akan dibawa pulang oleh para kontestan dan para juara, air mataku merebak di tengah pelukan teman-teman.
“Akhirnya besok kamu pulang dan bisa ketemu sama keluarga kamu,” bisik Vanya, teman terdekatku selama masa karantina. Ya! Itu yang membuat aku menangis. Bukan segala hadiah dan gelar ini!
Setelah delay lebih dari tiga jam karena langit Jogja tertutup hujan abu dan satu jam perjalanan, akhirnya aku menginjakkan kaki di bandara Adisutjipto. Menggeret koperku dan menenteng tas ekstra berisi berbagai hadiah dari sponsor, aku mencari-cari sosok Budhe Tutik yang katanya mau menjemputku.
“Ndhuk! Inas!” suara Budhe Tutik terdengar dari tengah keramaian. Aku jinjit dan menjulurkan kepala ke berbagai arah.
“Budhe!” aku bergegas menghampiri Budhe Tutik dan memeluknya. “Gimana Bapak, Ibu, sama Dik Agung? Mereka ada di rumah Budhe atau di pengungsian? Mereka nggak kenapa-kenapa kan, Budhe?” berondongku sembari menangis tak tahu malu.
“Pak, tolong bawakan barang-barang Inas,” kata Budhe pada Pak Suji, sopirnya.
“Budhe!” aku menghentakkan kakiku kesal karena Budhe tidak menjawab semua pertanyaanku. Bukannya tersadar untuk menjawab pertanyaanku, Budhe Tutik malah merangkulku dan mengajakku berjalan ke parkiran untuk selanjutnya pergi ke suatu tempat. Tempat yang akhirnya..... Yang akhirnya..... Membuat tangisku benar-benar pecah sampai air mataku tidak lagi keluar namun aku masih ingin terus menangis!
* * *
Semenjak itu Inas tidak pernah menengok kembali rumahnya di daerah atas dekat Merapi sana, yang tentunya sudah tinggal puing berwarna kehitaman. Semenjak itu Inas memusnahkan mimpinya untuk menjadi model profesional, seperti piala-pialanya yang telah musnah oleh awan panas. Tidak ada lagi dunia modelling. Semenjak itu Inas tidak mau mendekati Merapi. Ia rindu Merapi, ia ingin ke sana. Tapi kalau ia mendekati Merapi, segala penyesalan dan kesedihan itu kembali datang dan ia tidak tahu apakah ia mampu mengalami lagi rasa itu. Ia akan rindu pada rumahnya yang luas dan rindang, kolam renang yang luas tempat ia biasa berenang bersama Bapak dan Dik Agung tiap sore, teras belakang tempatnya membaca sembari menemani Ibu membuat kliping resep makanan. Semua itu, kegiatannya, selalu dilatarbelakangi kegagahan Merapi yang selalu dipandanginya setiap pagi dan dikunjunginya beberapa kali saat liburan. Ia akan rindu kehidupan lamanya yang telah berakhir, tanpa ia tahu prosesnya... Sekarang Inas hanya bisa mengabadikan setiap ‘pose’ Merapi melalui kameranya, mencetaknya, lalu menempelnya dengan rapi di salah satu bagian dinding kamarnya. Ia tetap ingin dekat dengan Merapi, namun tidak sedekat dulu.
* * *
Inas terduduk di tempat tidurnya dan masih dengan air mata mengalir dari sudut mata. Tiga puluh menit yang lalu Budhe dan Pakdhe berangkat ke Kaliadem, daerah pertama yang terkena awan panas satu tahun yang lalu.
Mengusap air matanya, melangkah menuju beranda, dan senyum pun terkembang di wajah Inas. Segera ia mengambil kameranya, membidik, memutar-mutar lensa hingga dirasa pas, lalu menekan shutter. Yang pertama dalam empat terakhir!
♥Agatha Elma Febiyaska ♥
Comments
Post a Comment