Berbicara tentang Masa Depan

Aku mau ke mana?
Aku mau jadi apa?

Kedua pertanyaan itu mulai sering berputar-putar dalam benakku. Mengingat sekarang usiaku tak lagi sekedar 20 dan aku tak lagi berada di semester awal, aku rasa pertanyaan tersebut harus segera terjawab.
Tahun depan teman-teman se-angkatan-ku akan lulus dan melanjutkan hidup dengan bekerja, baik pada orang lain atau bahkan membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain. Sedangkan aku, karena tahun lalu aku sempat menempuh studi di Korea selama satu semester, maka aku akan lulus satu tahun lebih lambat dari teman-temanku.

Beberapa waktu yang lalu, ketakutanku untuk mengambil kelas bersama dengan adik tingkat sempat membayangiku. Aku selalu takut akan adaptasi dan orang-orang baru. Namun setelah menjalaninya dalam lima hari kemarin, ketakutan itu sudah mulai memudar.

Sisi baiknya adalah aku sudah mulai bisa menerima keterlambatanku dalam hal kelulusan. Sayangnya, ketakutan lain muncul. Sebenarnya ketakutan ini sudah mulai muncul semenjak awal-awal masuk kuliah.
Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang identik dengan profesi guru setelah lulus. Orang-orang banyak berkata,”Wah, bakal jadi guru dong..” atau “Calon dosen, nih..” Tapi, aku merasa hatiku tidak sepenuhnya di dunia pendidikan meskipun dulu aku sangat ingin menjadi guru. Dulu…

Sekarang, ketika orang bertanya mau jadi apa aku kelak, jawaban yang otomatis keluar dari mulutku adalah menjadi penulis. Apakah aku rajin menulis? Tidak. Sudah berbulan-bulan ini aku jarang sekali menulis. Meskipun begitu, aku selalu mencoba untuk memaksa diriku menulis, se-sedikit apapun itu dan terus membaca.

Jawaban untuk menjadi seorang penulis sekarang terasa semakin mentah untukku. Aku tidak lagi memiliki keyakinan yang kuat dalam hal tersebut. Apa yang sedang terjadi denganku? Sebenarnya apa bakatku? Aku tidak bisa melihat kemampuan menonjol dalam diriku.

Teman-teman beranggapan bahwa aku ini pintar dengan IP-ku yang lumayan. Namun IP yang lumayan itu tidak dapat menuntunku pada satu jawaban akan masa depanku kelak.

Tadi, ketika aku sedang berkumpul dengan dua sahabatku, aku mengutarakan kebingungan akan masa depanku. Akan jadi apa aku kelak?

“Aku tuh bingung sebenernya aku harus kerja apa setelah lulus. Rasanya tuh kayak nggak ada hal yang fit sama aku sampai sekarang.”

“Ya kalau mau cari yang fit sama kita sih, nggak bakal ketemu. Ada juga kita yang harus berusaha untuk menyesuaikan diri, kan? Dream job itu nggak gampang didapatkan. Kalaupun dapat, keberuntungan biasanya berperan cukup besar.”

Benar juga, sih.

“Kamu tuh ada bakat dalam menulis, tapi kamu malas untuk rutin menulis. Coba deh, kamu biasakan menulis. Tulis hal-hal sepele pun nggak masalah, yang penting jangan berhenti menulis.”

Yah, benar lagi.

Mulai sekarang aku harus bisa mengarahkan diriku untuk menjadi sesuatu. Aku nggak ingin menghabiskan sisa-sisa masa kuliahku (yang masih cukup panjang) tanpa tujuan pasti akan apa yang harus aku lakukan setelah aku lulus. Kalau aku ingin jadi penulis, aku harus membiasakan diri dengan menulis dan membaca, tentunya. Aku juga harus menggali lagi tulisan macam apa yang cocok denganku, namun tidak berarti membatasi diri dengan hanya menulis satu jenis tulisan. Aku harus berlatih untuk menulis berbagai macam jenis tulisan.

Aku mulai bangun dari tidur panjangku yang nyaman.

Aku mulai melihat titik terang yang menuntunku ke suatu jalan.

Aku mulai bisa melihat sosokku di masa depan.

Terima kasih untuk obrolan malam ini, kawan.



Deta, Elma, Mona




Sleman, 14 Februari 2015, 11:33.

(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts