Ia yang Harus Kalah (Lagi)

Ia tidak pernah menyangka hal ini harus terjadi dua kali dalam hidupnya. Akankah ada yang ketiga, keempat, atau bahkan kelima? Jangan sampai. Ia sudah terlalu lelah dengan alur cerita ini, meskipun menyenangkan, namun selalu berujung menyakitkan.

Pagi itu, ia menceritakan apa yang sedang dirasakannya kepada sahabatnya dan tiba-tiba air mata itu pun mengalir. Sebelumnya, ia percaya bahwa ia terlahir sebagai sosok yang tidak mudah menumpahkan air mata kesedihan. Memang benar. Untuk hatinya yang patah dan masih terus patah selama lima tahun terakhir, sepuluh jari tangan terlalu banyak untuk mengetahui berapa kali ia harus menitikkan air mata dalam asanya yang pupus. Dan setelah cukup lama tidak menangis untuk sebuah cinta, pagi itu, ia menangis. Hatinya kembali menyerpih. Pada sosok yang berbeda, namun sama.

“Tuhan, aku bingung. Kenapa harus seperti ini? Aku bingung, sungguh…” bisiknya dalam tangis.

Hebatnya, air mata yang sudah mengalir pagi itu dirasa belum cukup untuk melegakan hati dan pikirannya yang sedang dikacaukan oleh satu sosok. Sorenya, di depan sahabatnya, ia kembali menangis. Lebih hebat. Ia berusaha menertawakan dirinya di dalam tangis, namun tetap saja air mata belum mau berhenti mengalir. Sesaat air mata mereda, namun seketika mengalir lagi.

Sungguh, ada apa dengan sosok ini?

Ia bingung, sedih, dan jengkel. Haruskah sosok seperti ini lagi? Haruskah aku mengulang kisah yang serupa? Haruskah aku kembali mengalami “cintaku padamu tak sehebat cintaNya”? Haruskah aku kembali kalah?

Jawabannya sudah jelas dan pasti: Ya.

Kini, semua seperti berputar kembali. Namun dengan ritme yang lebih cepat.

Ia suka, jatuh cinta, berhadapan dengan gunung es, dan ditinggalkan. Demi satu mimpi. Mimpi yang sama dari dua sosok yang berbeda.

Dengan cepatnya semua terjadi di depan matanya. Tak heran apabila itu terasa begitu menyakitkan hingga menghadirkan tangis.

Ia harus menyerahkan semua kepada Tuhan. Tuhan sungguh berperan dalam hal ini karena Tuhan tidak pernah bercanda ketika menciptakan rasa.

Ia tidak bisa memaksa. Tidak akan pernah bisa.

Semakin melangkah maju, yang akan ia temukan hanyalah penyangkalan diri. Ya, ia dan sosok itu sama-sama sedang berjuang. Ia berjuang untuk rasanya, sementara sosok itu berjuang untuk mengenyahkan rasa itu karena suatu mimpi besar. Perjuangan yang tidak akan berhenti pada bahagia bersama.

Sekarang, ia hanya bisa ‘menyaksikan’ sosok yang sedang mempertebal bentengnya. Ia berusaha untuk menghargai usaha sosok itu dalam memperjuangkan mimpinya dan mimpi ibunya.

Kembali, ia hanya bisa memeluk sosok itu di dalam doa.







June 26th, 22:42

(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts