Sang Ombak Mengetahui Kisahnya

Aku melangkahkan kakiku di atas pasir putih yang lembab itu
Perlahan, aku maju dan membiarkan kakiku memasuki genangan air asin berbuih yang menggoda
Aku menatap ke ombak yang bergerak enggan di jauh sana
Aku ingin mendekat, tapi untuk mencapai ombak itu, aku harus melangkah
penuh hati-hati, kalau tidak mau terluka
karena karang tajam terbentang luas
Jadilah aku hanya menikmati ketenangan air di tepian,
dengan menjejak dasar yang masih berpasir lembut

“Hei, ombak, kita bertemu lagi. Kapan kita terakhir bertemu? Sudah lima bulan yang lalu, ya. Itu pun aku hanya bisa melihat keindahanmu dari ketinggian tebing Kesirat.
Kamu masih ingat apa yang aku ceritakan di sana?
Iya, tentangnya.
Aku pikir, aku sudah berhasil meninggalkannya di lembaran-lembaran itu,
tapi ternyata aku masih berjalan bersama bayanganya
aku pun menyadari kalau kerap kali suaraku tercekat
bahkan mataku sedikit basah setiap aku bercerita tenangnya.
Bodoh ya?
Bahkan saat ini aku sedang rindu padanya. Ah, kata-kata barusan
terdengar terlalu dangdut, tapi aku tidak tahu
harus bagaimana lagi mengungkapkannya.
Ombak, kalau aku menceritakan semua ini padamu,
apakah kamu akan membawa cerita ini ke tempatnya berada?
Dia juga cukup sering bertemu denganmu, kurasa.
Kalau suatu kali kamu melihatnya datang padamu,
tolong buat dia merasa bahagia dan damai, ya.
Tidak perlu lah membuat dia mengingatku
karena aku hanya akan mengganggu kisahnya.

Ombak, kamu tahu, hanya dengan satu kejadian,
aku bisa berhenti di satu titik yang menyenangkan
kemudian menyakitkan.”

Aku bisa saja melangkah maju dengan menginjak karang tajam tersebut
untuk menyapa Sang Ombak
namun aku memilih untuk menikmati Sang Ombak dari kejauhan
karena dengan begitu pun, aku sudah bisa melihat keindahannya
dan itu sudah cukup.

Cukup.






22:15, December 26, 2015
(Agatha Elma Febiyaska)


Comments

Popular Posts