Memecah Mimpi (Cerpen @campusmagZ)

Ini atas permintaan mbak Fransesca Chicha :) Enjoy...



Memecah Mimpi

Karena aku hanya terus bermimpi.
Ketika kau tanya padaku, apa saja mimpiku? Jawabanku adalah ingin bersekolah di luar negeri, ingin bisa jalan-jalan ke luar negeri paling tidak setahun sekali, ingin tulisanku dimuat di majalah, ingin menerbitkan novel, dan berbagai mimpi luar biasa lainnya. Lalu, kau akan bertanya, apa yang akan kulakukan agar mimpi-mimpi itu terwujud? Entahlah. Ya, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya semua itu jauh sekali.
* * *
Hujan. Aku suka sekali hujan. Sama seperti banyak orang yang juga menyukai hujan. Hujan memang layak disukai. Segalanya terasa indah ketika tetesan bening air jatuh berirama menimpa dedaunan, atap rumah, jalanan, dan semua obyek yang dapat ditimpa. Awalnya keras dan kasar, lalu semakin halus dan teratur iramanya. Semakin menyenangkan lagi bila aroma alam yang basah mulai menguar. Tak ada parfum yang baunya seenak itu!
            Kini, aku sedang bersama hujan. Tidak, tidak dalam kebersamaan yang sedekat itu. Aku hanya bisa memandangi hujan yang terbingkai jendela berwarna coklat kehitaman. Hujan berusaha mendekatiku dengan menempel pada kaca jendela kamarku. Maaf, hujan, aku sedang tidak ingin bermain denganmu saat ini. Aku sedang asyik melihat foto-foto ulang tahun teman SMP-ku dulu, yang diadakan di salah satu hotel mewah di Kota Pelajar. Sebut saja namanya Rana. Dia sesosok gadis yang luar biasa, bagiku. Parasnya cantik, tubuhnya memiliki lekukan sempurna, rambutnya yang ikal berwarna hitam pekat, pandai menari Bali, pandai berbahasa Inggris dan Perancis, pandai dalam pelajaran karena dia masuk di kelas ilmu alam, pandai bermain drum, pandai bermain basket, fotogenic, bisa menyetir mobil sendiri, sering berlibur ke luar negeri, saat SD mengikuti pertukaran pelajar ke Australia, saat SMP mengikuti pertukaran pelajar ke Inggris, dan saat SMA ini dia akan mengikuti pertukaran pelajar ke Perancis. Tak heran, sih. Orang tuanya memiliki tingkat ekonomi yang sangat di atas rata-rata. Jadi, dia bisa saja melakukan apapun yang dia inginkan. Aku kagum padanya, sungguh. Aku ingin seperti dia!
“Sedang apa kamu?”
“Eh, Ayah. Lagi iseng aja liat-liat foto ulang tahunnya temenku di facebook. Keren loh dia, Yah. Akhir bulan ini mau pertukaran pelajar ke Perancis. Padahal dia udah kelas XII. Dia temen SMP-ku, Yah.”
“Oh. Hebat dong. Siapa namanya?”
“Rana, Yah. Udah cantik, pinter, kaya pula!”
Ayah geleng-geleng sembari mengelus rambutku, lalu beranjak keluar dari kamarku.
Ayah nih selalu begitu setiap kali aku ceritakan tentang Rana. Apa salahnya sih kalau aku cerita tentang temanku yang kehidupannya nyaris sempurna?
* * *
“Venty, tadi ayah baru saja ke tempat Pak Tino. Anaknya yang seusia kamu baru saja menerbitkan sebuah buku minggu lalu. Hebat ya?”
“Waaahhh... Aku juga ingin menerbitkan buku! Kapan ya aku bisa seperti itu?”
“Ah, kamu ini. Kamu mengaku ke orang-orang kalau kamu suka menulis, tapi apa? Ayah tidak pernah melihat kamu menghasilkan cerpen. Kalau kamu memang benar-benar suka menulis, buktikan dong dengan menjadi penulis yang produktif! Seperti anaknya Pak Tino itu. Jangan setiap kali cuma bilang pengen menerbitkan buku, tapi menulis saja nggak pernah.”
Nah, ini. Aku tidak suka kalau sudah mulai dibanding-bandingkan seperti ini. Aku harus mengajukan banding!
“Ayah nggak tau sih! Yang namannya menulis itu tidak bisa setiap saat! Tergantung kapan ada inspirasi. Kalau memaksakan diri untuk menulis, padahal nggak ada inspirasi, nggak bakal ada hasilnya. Kalaupun ada, pasti jelek!”
“Tapi selama apa sih, inspirasi libur? Kok nampaknya inspirasimu pergi berlibur lama sekali!”
“Ayah ini! Nyebelin!”
Tapi memang ada benarnya juga apa yang dikatakan ayah. Dulu, yaaaahh kira-kira dua tahun yang lalu, aku cukup produktif menghasilkan cerpen. Namun semenjak aku tidak lagi mengenakan seragam putih-biru, aku jarang sekali menulis cerpen. Jumlah cerpenku jika dihitung dengan seluruh jari yang ada di kedua tanganku saja membuat banyak jari terpaksa tetap terlipat. Entahlah, rasanya berat sekali menghasilkan sebuah cerpen. Ketika baru jadi satu paragraf, internet datang menggoda. Akhirnya? Tentunya si cerpen terbengkalai.
            Sebenarnya aku ingin sekali memenangi lomba cerpen yang diadakan di majalah atau di beberapa tempat, tapi aku terlalu congkak menghadapi pertandingan. Aku terlalu meremehkan lawan-lawanku, sehingga aku hanya membuat cerpen ala kadarnya, seolah-olah apa yang kutulis adalah yang terbaik. Dan dapat ditebak dengan tepat, aku tidak menang. Padahal aku ingin sekali menang agar aku memiliki motivasi untuk terus menulis. Aku ingin menang, aku ingin menerbitkan buku, aku ingin... Aku ingin!
* * *
Hawa dingin nan kering memeluk bulan kedelapan dalam dua belas rentetan bulan. Saat pagi bangun dari tidur, hawa dingin menggelitik, menggantikan tugas jam weker. Hawa dingin itu berhasil membuatku menarik selimut semakin tinggi hingga menutupi puncak kepalaku, membuatku semakin tidak berjuang untuk membuka mata. Sama seperti mimpi-mimpi dinginku yang terus menumpuk, yang berhasil kusimpan namun tak berhasil kuwujudkan.
            Setelah berhasil memaksa mataku untuk melihat hari yang paling ditunggu oleh pelajar se-Nusantara, mengumpulkan nyawa yang rasanya masih berceceran di mana-mana, aku beranjak dari tempat paling nyaman sejagad raya dengan lengkah limbung dan hal yang pertama kali kulakukan adalah menyalakan laptop, menyambungkannya dengan internet lalu membuka akun Twitter milik Rana. Hmmm.. sejak semalam hingga tiga jam yang lalu ia terus memperbarui status tentang segala yang terjadi dan ia rasakan menjelang hari keberangkatannya ke Perancis yang tinggal seminggu lagi. Rasa itu kembali berdesir dalam hatiku. Bukan, bukan rasa suka, tapi rasa iri! Rasanya semakin menjadi saja. Aku ingin seperti dia! Aku ingin sekali sekolah di luar negeri, atau setidaknya mencicipi sedikit berada di luar negeri. Betul-betul ingin. Siapa yang bisa membawaku ke luar negeri dengan mudah dan gratis? Pasti tidak ada.
            “Ven, kenapa sih kamu selalu mengikuti perkembangan temanmu, Rana?” suara Ayah mengagetkanku.
            “Habisnya, Rana keren banget sih, Yah! Aku pengen bisa sekolah di luar negeri kayak dia, Yah!” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
            “Kamu itu bisanya cuma kepengen terus! Usaha, dong! Rana pasti juga usaha untuk bisa sekolah di luar negeri.”
            “Belum tentu, Yah. Dia kan anak orang kaya.”
            “Terus kenapa kalau dia anak orang kaya? Tanpa kepintaran atau bakat apapun, nggak mungkin dia bisa mengikuti pertukaran pelajar sampai tiga kali.”
            “Hmm. Iya juga, sih. Dia jago banget tari Bali. Di SMA Harapan Jaya, dia masuk kelas IPA.”
            “Nah, itu! Dia udah berusaha dan masih terus berusaha kan? Itu yang harus kamu contoh. Kamu itu cuma ingin terus. Ingin ini, ingin itu. Tapi tidak pernah berusaha untuk mendapatkan mimpimu itu! Apakah kamu bisa menjadi seorang penulis besar kalau kerjaanmu hanya tidur-makan-tidur-makan? Betul, kau akan menjadi ‘penulis besar’. Penulis berbadan besar.”
Jleb! Makasih, Yah.
* * *
“Mbak, novelnya Gladiola Venty masih ada nggak? Kok tadi saya cari-cari di rak nggak ada...”
            “Wah, maaf, Mbak. Stoknya habis. Semenjak di-rilis seminggu yang lalu, setiap dua hari sekali harus di stok ulang. Banyak sekali yang cari.”
            “Oh ya sudah. Terima kasih ya, Mbak. Besok saya balik lagi.”
            Aku berlari ke tempat parkir, segera mencari motorku dan beranjak pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung berlari memeluk kedua orang tuaku yang dengan canggung membalas pelukanku karena mereka bingung dengan tingkahku. Setelah kurasa cukup berbagi kebahagiaan dengan mereka, aku lepaskan pelukanku dan berlari ke kamar, meninggalkan mereka yang masih menampakkan raut kebingungan di wajah yang sudah berhiaskan garis-garis tanda usia dan lipatan-lipatan halus itu. Aku melemparkan senyum-pamer-gigi selama beberapa detik pada dua sosok luar biasa itu, sebelum akhirnya aku masuk ke kamar dan mengurung diriku di dalamnya.
            Kunyalakan laptop dan langsung kusambungkan dengan internet. Aku buka dua buah jejaring sosial sekaligus. Dan seperti apa yang rutin aku lakukan, aku membuka akun jejaring sosial milik Rana. Namun berbeda tujuan seperti biasanya, mulai saat ini, aku tidak akan iri lagi dengan Rana. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Memang belum semuanya, tapi aku sudah meraih pintu utama untuk menuju ke segala ruang mimpiku.
Puji Tuhan!
Ya, ya. Aku tentu pernah bermimpi untuk menjadi seorang penulis dan menerbitkan novel. Satu tahun yang lalu, aku hanya bisa bermimpi setiap saat tanpa bisa mewujudkannya karena aku belum paham betul apa itu mimpi dan angan-angan. Tetapi sekarang aku sudah berhasil mengakrabkan diri dengan mimpi.
Rana, terima kasih. Karena terus-menerus iri sama kamu, aku yang awalnya hanya bisa berkata, “Aku ingin seperti Rana...”, kini aku bisa merubah kata-kata itu menjadi, “Aku bisa menjadi seperti Rana, bahkan melebihinya!”
Ayah, terima kasih. Lihat, Yah! Aku memang masih penulis écék-écék, tapi aku adalah sosok yang dulu kau sebut ‘penulis besar’, yang dalam waktu dekat ini akan menjadi penulis besar yang sesungguhnya!
* * *
Ternyata, mimpi itu seperti pinata...
            Aku adalah seorang tuan rumah sebuah acara ulang tahun. Setelah menerima ucapan selamat beserta kado dari teman-temanku yang datang dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, lalu meniup lilin berbentuk angka sepuluh itu, tibalah saat yang paling dinantikan oleh teman-temanku: memukul pinata!
            Pinata berbentuk kuda poni penuh warna itu tergantung pasrah pada seutas tali. Isi pinata itu sangat menggiurkan! Permen dan cokelat. Tapi, untuk mendapatkannya, aku harus memecah pinata indah itu. Awalnya aku tidak mau. Aku ingin semua permen dan cokelat dalam pinata itu keluar tanpa aku harus merusak pinata itu! Aku ingin pinata itu tetap seperti itu! Namun Ibu berkata bahwa aku harus mengambil resiko untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Kalau aku ingin permen dan cokelat, aku harus memukul pinata itu dan membiarkannya pecah berkeping-keping. Sedangkan kalau aku ingin pinata itu tetap utuh, aku tidak akan mendapatkan satu pun permen atau cokelat. Akhirnya, aku memutuskan untuk memukul pinata itu. Kupikir, tidak mungkin juga aku akan membiarkan semua permen dan cokelat di dalam pinata itu basi dan akhirnya terbuang sia-sia.
            Aku meminta tolong Ibu untuk memasangkan penutup mata untukku, lalu aku berjalan perlahan, memastikan langkahku tepat, sambil megayun-ayunkan tongkat pemukul ke udara hingga akhirnya.... PRAAAKKK! Permen dan cokelat pun berjatuhan. Akhirnya aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Benar keputusanku untuk tidak mendiamkan pinata itu begitu saja.

(dimuat di campusmagZ edisi Januari 2012)

Comments

  1. Aaaaahhhh oke banget nih. Boleh dimuat di Bulletin Lilin gak? Atau Mading Mudika? Biar anak2 bisa baca hehehe.

    Keep writing. Keep dreaming. You rock girl. Proud of you :D

    ReplyDelete
  2. Boleh, mbak boleeeehh :D

    Thanks a bunch mbk chaaaaa :* :* :* {} {}
    i'll keep in dreaming and writing!

    ReplyDelete
  3. tunjukin blogmu aja ke ayahmu, ini bukti km seorang penulis..

    ReplyDelete
  4. Beneran nih? Coppas yaaa :D Eh tapi aku bilang ibu pimred aja. Mbok kamu gabung aja ke bulletin lilin. Si Ova juga ikutan tuh hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa beneran :)) uuwww.. gabungnya setelah UN aja pegimane, mbaaaaakkkkk........... hehehehe

      Delete
  5. Waah, cerpennya keren kak :) Aku suka banget, hehe..
    Ringan tapi mengena yaah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, makasih bangeeeett :)
      Hope you'll enjoy my other writings :)
      Nama kamu siapa? Salam kenal yaaa :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts