2018: The Year of Lost & Found #refELection




…aku ketik sebagian tulisan ini di sebuah kedai kopi sebuah mall di Bekasi dengan senyum dan ketidakpercayaan—dan tentunya syukur—usai suatu pemberitaan penting menjelang akhir tahun, kemudian kulanjutkan di kereta pagi, perjalanan kembali dari sebuah perjuangan luar biasa tahun ini… dan kulanjutkan serta ku-edit di rumah.

Kalo 2017 dulu berasa cepet banget, 2018 ini nggak tau deh apaan. Terlalu cepat. Ter-la-lu. Tahun 2018 ini berasa se-kedip-an doang nggak siiiiihhhh??

As what I’ve written as the title, I’d like to name this year as “The Year of Lost & Found.” Dalam hidup, pasti akan selalu ada kehilangan dan penemuan, begitu pun dalam hidupku dan refleksi tahunan kali ini aku berfokus pada hal tersebut. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku ingin berbagi refleksi di blog ini; dengan tujuan untuk… berbagi J Kalau kalian ingin berbagi kisah kalian di tahun 2018 ini, I’d love to read and reply!

Kehilangan


Tidak hanya barang dan sosok, namun aku juga harus kehilangan hal yang tak tampak.

Pertama, aku kehilangan kesempatan menjadi Pengajar Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing dalam program yang diadakan Kemdikbud.

Kedua, aku kehilangan pekerjaan freelance yang menjadi pegangan utamaku beberapa tahun terakhir. Secara tiba-tiba.

Ketiga, aku kehilangan berat badan.

Keempat, aku kehilangan sarung tangan dan jaket kesayangan.

Kelima, aku kehilangan sosok pemberi pembelajaran.

Keenam, aku kehilangan orang-orang.

Ketujuh, aku kehilangan hasrat menulis.

Kedelapan, aku kehilangan diriku.


Penemuan


Dari setiap kehilangan, ternyata selalu ada penemuan. Selalu. Hanya saja terkadang aku lupa atau—yang lebih sering—enggan untuk menengok dan menyelami sisi temu tersebut. Orang akan melihatku terlalu lama terlarut dalam kesedihan dan terlalu dalam berpikir, namun itulah prosesku untuk merelakan dan melepaskan. Aku bersedih sampai aku lelah, aku berpikir lebih baik, kemudian aku bangkit dan kembali berjalan, ketika bebrapa orang lainnya akan serta-merta mendistraksi diri mereka dari kesedihan dan berusaha keras untuk tersenyum dalam aktivitas, lalu menangis dalam sunyi. Aku memang harus menyelesaikan satu hal terlebih dahulu sebelum beranjak ke hal lainnya dan ternyata itu berlaku untuk banyak kejadian.

Anyway, penemuan atau refleksi yang kudapatkan, yang akhirnya menjadi kekuatanku adalah hal-hal berikut ini:

Lha, kok foto kasur berantakan? Iya maap, aku juga heran kok nggak motret apa-apa selama di Sidoarjo. Cuma ini saksi bisunya ternyata. Saking grogingnya mau tes kayaknya...

Ya, aku kehilangan kesempatan untuk menjadi Pengajar Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing setelah mengikuti serangkaian tes sampe dibela-belain tes di Sidoarjo dalam kondisi lagi kena cacar air (iya, di umur 24 tahun aku baru kena)! But this is not a thing that I regret because I learned a lot from this: I learned how to compete, I learned how to join a selection test in a city that I’ve never been to, I learned that I need to prepare seriously for a serious test, I learned that I am not good enough on this area, and many other lessons. Aku menemukan pengalaman seleksi kerja tingkat nasional.


Ini beda sama foto kasur sebelumnya, ya.

Ya, aku kehilangan pekerjaan menulis (yup, pekerjaan yang ini) yang telah mengajariku banyak hal dan membawaku bertemu dengan berbagai orang, tempat, serta pengalaman yang keren. Aku sedih karena jujur, pekerjaan ini adalah “pegangan hidup,” dari mana aku bisa jajan dan beli ini-itu. Kehilangan pekerjaan itu membuatku bingung karena aku belum juga punya pekerjaan tetap. Tapi, kalau aku tidak kehilangan pekerjaan ini, maka aku akan terus bergantung pada pekerjaan yang tidak pasti itu. Aku tidak akan qerja qeraz bagai qhuda untuk segera mencari pekerjaan yang “benar-benar bekerja.” Apalagi usiaku sudah hampir seperempat abad. Memang, aku belum se-berusaha itu untuk mendapatkan pekerjaan yang akan membuatku “benar-benar bekerja,” tapi setidaknya aku sedang mengusahakan sesuatu besar. Kalau saja aku tidak jobless tiba-tiba, aku tidak akan membuat lompatan yang jauh untuk hidupku. Aku menemukan bahayanya zona nyaman.


Ini foto ketika Malam Natal kemarin, di mana beberapa orang bilang aku keliatan kurusan. Keliatan, nggak? Hehehe. Nggak penting, sih. Not really proud about this weight loss, but I'm grateful, though. 

Ya, aku kehilangan berat badan dooonnggg akhirnyaaaaa dooonggggg… setelah berkali-kali menulis “turunin berat badan!” di halaman awal agenda tahunan sejak entah tahun kapan, tapi selalu saja gagal. Bukannya aku tidak mencintai diriku, namun berat badanku yang sebelum ini terlalu membatasiku dalam banyak hal, terutama beraktivitas. Kesehatanku pun bisa mengkhawatirkan kalau kelebihan itu tidak segera kuatasi. Sayangnya (ciyeee.. sayaaangg), aku tertohok kalau mengingat perkataan sahabatku, “Aku lebih seneng denger kamu kurus karena diet ya, bukan karena stres.” Soalnya……aku ngerasa berat badanku yang menghilang cukup banyak ini diakibatkan oleh faktor stres. Kenapa begitu? Karena jangka waktu hilangnya berat badanku terbilang cukup cepat dan jumlahnya besar. Tahun lalu, aku kehilangan jumlah segitu besar dalam kurun waktu berbulan-bulan, tapi tahun ini, hanya sekitar dua bulan. Kemudian, memang ada hal yang membuatku stres, yang awalnya tidak begitu kurasakan, namun memuncak ketika aku kehilangan selera makanku secara drastis selama berhari-hari. Ajaib banget dah seorang Elma bisa kehilangan selera makan sampe kayak gitu! Tapi ya aku bersyukur karena dengan proses itu, aku jadi lebih mengenal dan menyayangi badanku. Selanjutnya, aku masih harus mengurangi berat badanku, namun dengan cara yang sehat tentunya. Aku menemukan pelajaran untuk tidak lagi kehilangan berat badan secara negatif.


Ini lho, jaket tersayangku :( 

Ya, aku kehilangan jaket bomber hijau army yang katanya ngikutin Pak Jokowi padahal aku udah punya duluan dan itu nggak se-level sama punya beliau L Jaket itu favorit banget karena enak dipake pas hujan ataupun panas. Lagian itu bisa dilipet-lipet dan kalo dimasukkin tas gak menuh-menuhin. Jaket itu udah aku pake sejak aku terlihat kayak arem-arem pas pake itu, sampe akhirnya aku (kayaknya) keliatan oke pake itu. Nah, jaket itu ilang bareng sarung tangan ijo toska yang belum terlalu lama kubeli untuk menghindari semakin parahnya belang tanganku. Awalnya aku salah beli ukuran sih itu, tapi lama-lama yaudah nyaman aja—emang perlu proses kan buat jadi nyaman dan kalo udah nyaman yaudah, enak. Eh. Suatu hari di parkiran mall kesayanganku yang aku nggak pernah nyangka bakalan kehilangan barang karena aku terlalu percaya—iya, ternyata terlalu percaya juga nggak baik. Duh.—kalo nggak bakal ilang, wong biasanya nggak ilang, kok. YHA TAPI EH TAPI ilang dooongg hari itu. Hari apa sih itu? Hari kehilangan sih, buatku. Ehm, alhasil, aku pulang berasa super silir tanpa jaket dan sarung tangan. Uniknya, aku tidak terlalu sedih dengan kehilangan itu. Aku menemukan perasaan kehilangan yang tidak perlu terlalu “diperhatikan.”




Ya, berkaitan dengan kehilangan sebelumnya, di hari yang sama, aku kehilangan hal lain. Iya, makanya itu kusebut hari kehilangan. Oiya tambahan, hari itu aku juga kehilangan sebagian rambutku karena aku potong rambut akibat stres dan aku (sok) mau menyambut hidup baru. Wah, sebenernya aku takut kepanjangan sih di paragraf ini nulisnya. Intinya aja nih ya, aku kehilangan sosok yang sudah memberiku sangat banyak pelajaran selama dua tahun terakhir, sosok yang sudah mengajakku naik roller coaster kehidupan yang berkesan. Nggak, nggak semuanya kenangan manis yang tersimpan, ada pahitnya juga, soalnya nggak fake kami mah anaknya. Kalo manis-manis doang sih, malah ngeri. Menurutku, proses yang kami jalani luar biasa dan diakhiri dengan luar biasa juga. Nggak bisa dan nggak mau juga sih, cerita banyak-banyak di sini hehehe maapin Elma-nya, yak. Tapi kalian bisa baca serpihan-serpihan kenangannya di beberapa tulisan ini:

Cold 

Di kilas balik yang kutulis tahun lalu, aku menyebut proses bersamanya adalah sebuah pembelajaran. Aku mengandaikan proses ini layaknya bersekolah, begini:
Waktu itu, aku hampir tidak naik kelas dan pindah sekolah, tapi ternyata aku masih punya kesempatan. Lalu setelah nyaris gagal itu, aku belajar dan ujian lagi dan naik kelas lagi. Hingga tak terasa dua bulan yang lalu, aku sudah menginjak kelas terakhirku untuk belajar di sekolah ini. Aku mendapat rapor dan aku dinyatakan lulus. Aku harus mencari sekolah lanjutan setelah ini. Berpindah dari satu sekolah ke jenjang yang lebih tinggi akan menimbulkan kesedihan, tentu, karena mengingat perjuangan semasa di sekolah tersebut; yang manis dan yang menantang. Tapi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan komplit, proses harus terus berlanjut. Siapa yang tahu kalau petualangan di sekolah yang baru akan lebih menyenangkan, menantang, membanting, dan melambungkan? Yang pasti, hal baru yang menarik menanti untuk disambut, diselami, dan dijalani di jenjang yang lebih tinggi itu. Jadi... ya, kutunjukkan rapor pada orang tuaku, mereka tersenyum bangga, dan mereka melontarkan harap padaku untuk melanjutkan berlari usai liburan singkat ini. 

Anyways, penemuan dari kehilangan yang satu ini adalah…banyak. Hehe, maapin lagi, yak. Udah ah, jangan dibahas berkepanjangan karena kisahnya pun singkat. Aku menemukan satu bab baru dalam hidupku. Dan aku tidak hanya naik kelas, tapi lulus dan naik tingkat. Ya, kan?




Ya, masih berhubungan sama kehilangan yang sebelumnya, aku merasa dalam proses menuju kehilangan satu sosok itu, aku kehilangan banyak orang. Mulai dari teman hingga keluarga. Tapi ternyata, bukan mereka yang menghilang dari hidupku, tapi aku yang membutakan diri terhadap cinta dan perhatian mereka yang sebenarnya begitu besar padaku. Aku yang terlalu berfokus pada hal lain, merasa bahwa aku ditinggalkan dan tidak punya siapa-siapa, padahal akunya yang kurang menyapa mereka. Setelah kehilangan yang kutuliskan di paragraf sebelum ini, aku kembali melihat mereka hadir dalam hidupku dan ternyata mereka selalu ada. Selalu. Hati mereka pun sungguh besar untukku. Aku merasa bersalah, tapi aku sungguh bersyukur karena menyadari aku tidak menjalani semua ini sendiri. Kerap kali memang orang-orang yang tulus dan sungguh peduli dengan kita itu terabaikan, tapi mereka selalu siap sedia. Aku menemukan arti lain dari ketulusan dan kemurnian.




Ya, maap-maap nih (hitung sudah berapa maap yang muncul di tulisan ini), kehilangan di dua paragraf sebelum ini ternyata dampaknya cukup banyak, termasuk aku yang kehilangan hasrat menulis. Menulis dengan rasa tidak mudah; ada masa ketika menulis adalah suatu hal yang menimbulkan rasa menyenangkan sekaligus melegakan, namun harus bersiap untuk mati rasa sehingga merangkai sebuah kalimat pun amat-sangat sulit. Tidak melebih-lebihkan, namun itu sungguh menyiksa. Kondisi di mana pikiran begitu penuh, sudah mencoba mengungkapkannya ke orang lain, tapi masih ada yang tak terungkapkan, dan aku biasanya menuntaskannya dengan menulis, tapi kali ini menghadapi kursor yang berkedip di halaman kosong—atau kertas dan bolpoin yang menunggu disentuh—menjadi hal yang mengerikan, yang membuatku tambah stres karena aku tidak bisa mengeluarkan apa yang ingin aku keluarkan. Hal seperti itu selalu tidak mengenakkan, kan? Aku menemukan bahwa ada masa ketika aku bisa kehilangan rasa sama sekali pada suatu hal yang sangat aku cintai (dalam hal ini menulis, ya). Meskipun hanya kehilangan sementara karena Puji Tuhan, sesudahnya fase titik rendah itu, aku bisa menulis lagi. Tulisan ini salah satunya. Atau yang ini.


Nggak tau kenapa milih gambar kaki yang nggak se-tjakep aslinya ini.

Ya, ini kehilangan terbesarku. Dan ketika aku membuka lagi tulisan reflektifku tahun lalu, di sekitar bulan menuju akhir tahun ini juga, aku kehilangan diriku. Kenapa yak, kok jadi “agenda” rutin? Kok ya waktunya bisa samaan… Tapi ya sudah, ndak papa. Proses hidup kan emang suka unik begidu. Kehilangan diri bagiku berarti…tersesat; kesepian di tengah keramaian, tertawa untuk menutupi kesedihan, menangis tiba-tiba, merasa tidak berharga, bingung melakukan berbagai hal, dan seterusnya. Aku menikmati semuanya. Aku menjalani titik rendahku, tak memedulikan nasehat dan omongan orang yang mengajakku untuk segera bangkit. Aku—aku akan bangkit pada waktu yang kuinginkan, bukan yang mereka dikte-kan. Pada waktu yang Tuhan siapkan. Itu lebih tepatnya. Aku harus lebih peka mendengar suaraNya kali ini. 


Mmmm… masih ada lagi sebenernya, tapi kok ternyata udah se-panjang ini huhuhu. Waktu aku scrolled down galeri foto buat cari foto-foto yang aku masukkin di post ini, aku jadi sadar masih banyak hal yang belum kubahas. Beberapa di antaranya aku lanjut di post lain, ya? Termasuk keinginan-keinginanku untuk tahun 2019. See you there!


Why does this writing feel dark and gloomy? Do you feel so? Just realized it at the end of the process, so I still posted this. You may judge anything you want, friends. 


Mampir-mampir ke IG pribadiku? Boleh, di @elmagatha. Atau mau baca tulisan-tulisan kecilku? Silakan ke @elspression. Ada juga tuh tulisan sejenis itu di IG pribadiku, di kedua highlights ini: Unaddressed dan Words. Boleh disimpan atau di-post atau dijadikan bahan refleksi kalau sesuai keadaan. Yuk, berbagi! ;)


Mucho amor,
-el

Comments

Popular Posts