Failure #refELection

Failure. Kegagalan.

Tahun 2018 baru menyapa sebentar, eh aku sudah dapat teman baru. Kenalkan, namanya failure. Tenang aja, dia nggak seburuk yang selama ini terlintas di pikiran kalian, bahkan pikiranku sendiri. 


Jadi begini ceritanya….

Menjelang akhir tahun kemarin, aku melakukan beberapa hal dan mempersiapkan ini-itu untuk mendaftar sebuah program learning and volunteering di U.S. Aku sebenarnya mau-tidak-mau juga menjajal peruntungan di sini. Tapi, orang-orang terdekatku mendukungku. Kata Ibuk, “Mending coba, terus gagal; daripada nggak nyoba.” Bener juga sih, pikirku ketika itu. Akhirnya, aku pun mulai mengunduh formulir yang wajib diisi, yang berlembar-lembar banyaknya. Tidak hanya harus mengisi data diri, tapi juga harus menjawab 8 pertanyaan yang masing-masing pertanyaan harus dijawab minimal dalam 1 paragraf. Minimal. Aku menggunakan sistem cicilan dalam menyelesaikan formulir tersebut. Sampai-sampai, aku menulis di agenda-ku bahwa tanggal sekian sampai sekian adalah waktunya aku menyicil pengisian formulir tersebut sampai batas waktu yang aku buat, yang kira-kira masih cukup untuk melakukan proofreading dan editing dari beberapa pihak dan dari aku sendiri. 

Selain itu, aku juga harus mengambil tes TOEFL ITP di CILACS UII. Awalnya aku ingin tes di kampus sendiri, Lembaga Bahasa Sanata Dharma, tapi ternyata tanggalnya tidak cocok karena aku hanya punya waktu sebulan-an sampai semua dokumen harus sampai ke Jakarta. Saat tes TOEFL, aku pulang kantor di Jepara hari Jumat sore, sampai rumah tengah malam, dan tes TOEFL hari Sabtu pagi jam 7 sudah berangkat. Ketika itu pun aku sedang kurang enak badan dan aku tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk tes tersebut meskipun aku sudah meng-agenda-kan latihan TOEFL seminggu sebelum tes. Waktu tes berlangsung, aku duduk di belakang sendiri, kena sentor kipas angin. Lengkap sudah. 

Ada lagi aku harus menerjemahkan ijazah dan STTB SMA, serta SKL kuliah kemarin. Aku merepotkan banyak orang dalam proses persiapan ini. Tapi, mereka sangat luar biasa mau meluangkan waktu mereka untukku. Terima kasih banyaaaakkk kalian! You know who you are. ❤

Dua mingguan sebelum deadline yang kubuat untuk mengirimkan dokumen tersebut ke Jakarta, aku mulai ragu lagi. Harus nggak sih, nyoba ini? Kalau gagal gimana? Tapi ya akhirnya I kept going.
Amerika. Aku udah pernah gagal sekali di bulan Agustus kemarin, berkenaan dengan kepergian ke negara impianku itu. Kalau harus gagal lagi, ya sudah. Memang jalan ke sana tidak mudah. Dan tidak murah. Ehe.

Aku pun mengirimkan semua dokumen yang sudah beres, beberapa hari menjelang tanggal 1 Desember—deadline dari sana. Setelahnya, aku ‘mengantar’ dokumen itu dengan doa Novena. 

*

Sampai kemarin, tanggal 2 Januari 2018, ketika baru saja selesai menerjemahkan sesuatu dan aku ingin mengirim pesan, ada notifikasi e-mail yang sekilas kulihat. Tercantum nama program yang aku daftar 2 bulan lalu. Perasaanku? Agak biasa saja. Ketika membaca bagian awal e-mail tersebut, masih ada harapan tipis untuk lolos ke tahap selanjutnya, tapi entahlah, aku merasa bukan itu isinya. Dan benar saja, I failed

Di sebelahku, ada Ibuk yang langsung kuberitahu. Kemudian aku pun mengabari seorang lain yang tahu dan membantu proses pencapaian salah satu mimpiku itu. Aku biasa saja. Kecewa sih, tapi kayak legowo aja gitu. 

Memang banyak yang sudah aku relakan selama proses persiapan kemarin; sebagian gaji pertamaku dan waktuku. Tapi itu bukanlah hal yang patut dihitung untuk sebuah usaha pencapaian mimpi. Mewujudkan sebuah mimpi yang dilihat dan dihitung adalah ‘perjuangan.’ Cukup itu saja. Tidak perlu diperhatikan detailnya karena ‘perjuangan’ sudah mencakup semuanya; tenaga, waktu, materi, niat, kesehatan, dan segala printilan lainnya. Perjuangan yang akan mengantar pada ‘belum waktunya’ atau ‘sekaranglah waktunya.’

*

Siangnya, aku menuju ke tempat kerja favoritku di sebuah mall. Dalam perjalanan 20 menit dari rumah ke sana, sebuah pemikiran seru terlintas dalam benakku…

I’m gonna make friend with failure. 

People may think negatively when the word ‘failure’ pops out. I do too. However, to begin this new page of my life, I want to think oppositely. 

Failure is like a friend, even best friend. How come? Do you know what is great in friendship? A friend encourages. A friend gives many life lessons. So does failure. Therefore, starting from that time on, I took failure as my friend and it’s not possible for us to be best friends in the future. 

I’m quite surprised with my own thought. That thought. Because I used to be very afraid of failures. I avoided failures because I didn’t like to be hurt. Nobody does, actually. 

But, I think that I have learned some things in the past few months that make me welcome pains a little bit easier. I’ve learned to let myself hurt by people, efforts, and experiences because this world is not a totally comfortable place. Things will hurt me through any possible ways, no matter how hard I try to run and hide. 

I couldn’t accept that fact because I loved myself the wrong way before. Loving myself doesn’t mean protecting myself from injuries by avoiding because by doing so, I also avoiding many life lessons; avoiding to live in the real world, avoiding to accept the truth, that can be mean sometimes. Or even most of the time. 

Pain can be caused even by things or people that seem not harmful to me, those who live very close to me. Therefore—really, why I was so dumb before this—I cannot run from pains. 

What I should do now and for the next chances of my life is, face the pain that’s going to challenge me, but I should not let it break me into pieces. I may stumble and find myself hard to breathe and stand for a while, but I have to stand up.

Because a failure doesn’t always mean a close door for my better future. A failure can be a close door that leads me to an open door that is really opened for me, where I should enter and start my brighter days. 

Let failure encourage. Let failure lead.


3 Januari 2018, 10:14
(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts