Mimpi yang Tak Lagi Sama
Source: pinterest.com |
“Ayo, siapin buku tulis yang kemarin. Bolpen atau pensil juga jangan lupa, ya! Aku tunggu di ruang samping!”
Aku masih ingat betul
adegan-adegan di usiaku yang belum menginjak 11 tahun ketika itu. Aku yang
selalu bersemangat mengajak adik dan sepupu-sepupuku untuk bermain ‘sekolah-sekolahan’
di ruangan kosong yang terletak di samping ruang tamu. Di dalam ruangan itu,
terdapat sebuah papan tulis kapur yang besar, yang entah dari mana eyangku
mendapatkannya. Tidak hanya papan tulis itu, namun juga tersedia satu kotak
kapur warna-warni dan satu kotak kapur putih beserta penghapusnya yang terbuat
dari bahan sabut kelapa. Aku selalu senang ketika pergi ke toko alat tulis dan
menuju ke area yang memajang kotak-kotak kapur berwarna biru dan hijau.
Meja-meja lipat kecil sudah
kusediakan berjajar rapi untuk tempat ‘murid-muridku’ duduk. Buku-buku
pelajaran pun sudah aku siapkan. Aku siap mengajar Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, hingga Bahasa Inggris. Ketika murid-murid kecilku yang usianya
4 – 5 tahun di bawahku itu sudah duduk manis, aku pun memulai kelas hari itu.
Aku mengajari mereka menulis dengan benar dan rapi, menghitung soal Matematika
sederhana, meyampaikan pengetahuan-pengetahuan yang aku yakin belum pernah
mereka ketahui sebelumnya, juga mengajarkan Bahasa Inggris sederhana,
se-sederhana mengucapkan ‘Good morning’ dan
‘Thank you.’
Tidak lupa, aku juga menyediakan
waktu istirahat untuk mereka. Setelahnya, mereka akan dengan patuh kembali
masuk ke kelas dan melanjutkan pelajaran. Ketika kelas usai, mereka akan
merapikan peralatan tulis mereka dan bersiap melesat keluar dari kelas itu. Aku
senang. Aku menikmati setiap proses tersebut. Aku pun tidak peduli dengan
tangan yang terasa kesat akibat serpihan kapur. Aku puas bisa mengajar mereka.
Hal itu pun menghantarkan aku pada sebuah jawaban untuk sebuah pertanyaan yang
sering ditanyakan pada anak kecil yang sudah bersekolah, “Besok kalau sudah
besar, mau jadi apa?” Aku pun menjawabnya dengan mantap dan tersenyum,”Guru!”
*
Tapi, semuanya sekarang sudah
berubah. Usiaku sekarang sudah dua kali lipat semenjak masa kecintaanku menjadi
seorang guru cilik. Sudah begitu banyak hal yang aku alami dan saksikan sejak
usia itu. Keinginanku untuk menjadi seorang guru sudah pupus. Pupus dengan
ragu-ragu. Sekarang, kalau ada yang bertanya apakah aku akan menjadi seorang
guru, aku akan menjawab bahwa aku tidak suka mengajar orang. Aku sudah tidak
memiliki lagi kepercayaan diri untuk berdiri di depan orang dan mengajar
mereka. Aku kehilangan excitement dalam
membagi ilmu dengan orang lain melalu cara mengajar bak seorang guru. Jadi,
kalau sekarang ada yang menanyakan akan jadi apa aku kelak, ‘kelak’ yang akan
tiba sebentar lagi, aku akan menjawab, “Aku ingin bekerja kantoran. Di sebuah
majalah. Aku ingin menjadi penulis atau editor.” Perubahan yang sungguh besar.
Hal yang lucu adalah sekarang aku
sedang menempuh semester akhirku di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Ya, PENDIDIKAN.
Pertanyaan, “Berarti besok mau jadi guru, dong?” sudah seperti lagu-lagu hits
yang sering diputar di berbagai tempat: sering kudengar. Biasanya, aku hanya
akan tertawa kecil, tawa lelah untuk menyembunyikan keengganan menjawab pertanyaan
membosankan tersebut, lalu berkata, “Ah, nggak. Nggak begitu tertarik untuk
mengajar.” Itu sebuah kebohongan yang cukup besar karena mengajar bukan hanya
menjadi suatu hal yang tidak menarik bagiku, namun sudah menjadi sesuatu yang
menakutkan.
Semenjak berkuliah di jurusan
tersebut, aku selalu panik kalau sudah menjelang mata kuliah yang melibatkan
mengajar orang atau segala hal berhubungan dengan pendidikan. Padahal, aku
harus mengambil banyak mata kuliah berkaitan dengan pendidikan mulai dari
separuh keseluruhan semesterku selama di sana. Tertekan? Ya. Bisa dibilang,
meskipun aku mendapatkan nilai cukup membanggakan untuk kedua orang tuaku di
mata kuliah-mata kuliah tersebut, aku tidak pernah menikmati setiap prosesnya.
Aku selalu berada dalam tekanan dan keinginan supaya mata kuliah tersebut
segera berakhir.
Apa yang aku takutkan dari
mengajar? Ada beberapa hal yang mungkin terdengar konyol bagi kalian, bahkan
bodoh, atau egois. Pertama, aku selalu, selalu, mengalami krisis kepercayaan
diri ketika harus berbicara di depan banyak orang. Wajahku akan terlihat
tegang, panik, hingga aku pun bisa berkeringat luar biasa. Bicaraku pun menjadi
tidak beraturan dan terlalu banyak ‘eee…’ dalam kalimat-kalimat yang keluar
dari mulutku. Kedua, aku takut, takut, aku tidak bisa memuaskan rasa ingin tahu
murid-muridku. Aku takut tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku takut
terlihat bodoh di depan mereka. Aku takut mereka mencibirku karena aku tidak
bisa mengajar dengan baik. Sampai aku takut menyampaikan hal yang salah di
depan mereka saking grogi-nya aku. Ketiga, aku takut tidak bisa mendapatkan
hati mereka dan aku takut dengan respon mereka. Aku takut mereka tidak akan
menjawab ketika kutanya, mereka hanya memandangku hingga aku mati gaya, atau
parahnya, mereka mengabaikanku dan lebih memilih menjawab pertanyaan dari teman
sebangku mereka. Keempat, aku takut dijadikan contoh. Katanya, guru adalah
panutan karena ‘guru’ dalam bahasa jawa berarti ‘digugu lan ditiru’ yang kurang
lebih berarti dianut dan diikuti. Apakah aku sudah layak untuk dijadikan
panutan? Memang, aku belum menjadi guru yang sebenarnya, namun kalau aku harus
mengajar sejumlah orang, pertanyaan tersebut pasti muncul di pikiranku.
Lalu kenapa aku memilih jurusan
pendidikan? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku ketika
mendaftar kuliah ketika itu. Aku hanya mengikuti keinginan kedua orang tuaku
yang dulu berkuliah di universitas dan jurusan yang sama seperti yang akan aku
ambil. Tanpa protes ataupun penolakan, aku memilih jurusan tersebut dan
semuanya berjalan mulus begitu saja. Bukan berarti aku tidak mengalami masa
sulit dan ragu, tapi di atas semua itu, setidaknya aku bisa bertahan dengan
cukup membanggakan hingga detik ini. Sebenarnya, dari jurusanku, yakni ‘Pendidikan
Bahasa Inggris,’ aku hanya mencintai dua dari tiga kata tersebut: Bahasa
Inggris. Dari dulu, aku selalu suka Bahasa Inggris dan aku ingin belajar lebih
karena dengan Bahasa Inggris yang baik, aku percaya aku bisa mewujudkan salah
satu mimpiku, yaitu untuk pergi ke luar negeri. Mimpi anak kecil masa itu yang
nyaris mustahil, namun ke-mustahilan tersebut berhasil kupatahkan dengan
pengalaman 1 semester kuliah di negeri lain dan 1 minggu berbagi kebudayaan
Indonesia di negeri orang, yang membuatku harus tertinggal setahun dibanding
teman-teman seangkatanku yang sudah pada mulai sidang pendadaran, bahkan ada
yang sudah wisuda. Tidak masalah, karena aku sudah menggapai sebagian mimpiku
dan itulah harga yang harus kubayar untuk segenggam mimpi tersebut.
*
Dalam kurun waktu kurang dari 48
jam lagi, aku akan menjalani program PPL (Praktik Pengalaman Lapangan), salah
satu mata kuliah yang wajib diambil mahasiswa
jurusan pendidikan sepertiku. Aku diutus untuk mengajar di sebuah SMA negeri
yang cukup favorit di Jogja dan itu membuat ketakutanku semakin memuncak. Aku
akan dihadapkan dengan murid-murid terpilih yang sudah bersaing dengan
nilai-nilai ujian yang tinggi untuk bisa masuk ke sekolah tersebut. Layakkah
aku untuk berdiri di depan mereka dan membagikan ilmu yang kumiliki sejauh ini?
Akahkah mereka menerimaku dengan baik? Apakah semuanya akan berjalan mulus?
Yah, tentunya kalau semua berjalan mulus, tidak bagus juga. Setidaknya, aku
hanya mendambakan kelegaan secepat mungkin. Aku bahkan sudah ingin program
tersebut segera berakhir sebelum program tersebut resmi dimulai. Pengecut macam
apa aku ini? Entahlah. Aku merasa bahwa keadaanku terlalu menyedihkan saat ini.
Meskipun begitu, aku sangat
menghargai semangat dari teman-teman yang langsung hadir J Aku harap, semangat
itu akan selalu bersamaku sampai akhir nanti.
Aku harap, pengalaman mengajar tersebut akan membantuku dan menginspirasiku dalam menggapai mimpi baruku, kalaupun aku akhirnya tidak melabuhkan jangkar pada dunia pendidikan sebagai seorang pengajar. Pengalaman selalu bisa menjadi pelajaran yang berharga dalam segala bidang, kan?
Aku harap, pengalaman mengajar tersebut akan membantuku dan menginspirasiku dalam menggapai mimpi baruku, kalaupun aku akhirnya tidak melabuhkan jangkar pada dunia pendidikan sebagai seorang pengajar. Pengalaman selalu bisa menjadi pelajaran yang berharga dalam segala bidang, kan?
18 Juli 2016, 11:30.
(Agatha Elma Febiyaska)
HAI !!! Kak Aku Mau Tanya, Kenapa Kak Saka Ndakk Nge-Blogging Lagi ?!... JAwab Please...
ReplyDelete