Ia dan Luapan Rasanya
Apa yang telah mengkristal itu
akan berbeda rasanya jika akhirnya harus terungkap...
Ia
tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Rasa penasaran, gemas, senang, dan
jengkel itu sudah tak dapat lagi ditahannya. Penghiburan yang datang dari
sahabat-saabatnya pun terasa hambar di hatinya. Ia tidak paham dengan apa yang
dilakukan sosok itu. Ia tidak tahu harus bagaimana menyikapinya. Ia ingin
merasakan senang itu, namun seketika hati kecilnya menyentakkan sebuah fakta
bahwa tujuh belas hari yang lalu, ia sudah merasakan sakit yang tak terungkap,
lagi. Sakit yang ditimbulkan oleh sosok itu. Fakta dan sakit yang membuatnya
tersadar dan hati kecilnya mengajaknya untuk mundur, lagi.
Tatapannya
terpaku pada gambar yang sengaja disimpannya di galeri foto ponselnya, luka
yang baru berumur belasan hari itu kembali terkuak. Apa maunya? Ia ingin tahu secara
gamblang. Ia sudah lelah menebak, terlebih ia sudah lelah menunggu. Ia ingin
menangis. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tersakiti dengan cara ini. Tapi tak
mudah baginya untuk menangis. Butuh hal yang sangat menyakitkan untuk mendorong
air mata itu keluar dari persembunyiannya.
Air mata tak
mampu mengembalikan suasana hatinya menjadi baik. Masih ingin meredakan rasa
sakit itu, ia mencari air lain. Tak lagi air mata, ia memutuskan untuk membasuh
dirinya. Di tengah guyuran demi guyuran air, kesesakan itu pun luruh
bersamanya. Nafasnya mulai tersengal, matanya yang tadi hanya dibasahi air
tampungan bak mandi, kali ini sudah bercampur dengan kehadiran air yang
diharapkannya untuk meredakan perih lukanya. Dicengkeramnya tepian bak mandi,
kenangan demi kenangan berkelebat, tetes demi tetes air mata menyempurnakannya.
Ketidaktahuan
kembali menyambangi dirinya. Kepada siapa ia harus bercerita? Ia tidak bisa
benar-benar mengungkapkan apa yang dirasakannya pada sahabat-sahabatnya. Tidak
pernah bisa. Ia sesungguhnya lebih nyaman memendam semuanya sendiri karena ia
tidak pernah bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik, sesuai betul dengan
apa yang dirasakannya.
Hatinya
menuntunnya pergi ke Rumah Tuhan. Di sana, sungguh terlalu banyak kenangan yang
membuat perasaannya semakin tidak nyaman. Tak peduli, ia berjalan lurus menuju
tempat di sisi kiri altar itu, dipandangnya wajah Tuhan yang begitu
menenteramkan, dinyalakannya sebatang lilin merah, dan diletakkannya di tatakan
lilin. Lilin merah itu menjadi satu-satunya penerang di tatakan itu. Kenapa
merah? Karena terlalu banyak makna dan kenangan di balik warna itu...
Hanya seperti
itu. Tanpa doa yang khusyuk, tanpa pejaman mata, tanpa tangan mengatup, ia
hanya membisikkan dalam hatinya, “Tuhan, Engkau tahu apa yang aku rasakan. Aku
bingung dengan semua ini...”
Tak lagi mengkristal menyesakkan,
namun masih tetap dalam peluk penantian.
23 Februari 2013
(Agatha Elma Febiyaska)
Comments
Post a Comment