Dia dan Penantiannya
Dia tahu ada rasa
yang janggal pada dirinya....
Dia berusaha menyembunyikannya.
Seperti layaknya orang-orang berzodiak Aquarius, dia sangat pandai bermain
peran, bahkan terhadap dirinya sendiri. Rasa yang membuatnya tak nyaman itu,
berhasil disulapnya menjadi sebuah senyuman, bahkan tawa. Meskipun bagi beberapa
orang yang jeli memerhatikannya, senyum itu tidak pernah utuh. Tawa itu tidak
benar-benar dimaksudkan. Ada tumpukan ganjalan di balik itu semua.
Dia berjalan lemah menuju
balkon. Di dekapannya ada sebuah buku harian bersampul merah yang mencolok.
Sama mencoloknya dengan rasa janggal itu...
Sejenak ditatapnya beberapa
bintang yang berbaik hati tetap berada di atas sana, meskipun kawan-kawannya
entah ke mana. Pendarnya tidak lemah, namun saat memandang bintang-bintang itu,
perlahan mereka nampak semakin samar, pendarnya semakin lemah, sesuatu
mengaburkan keindahan bintang-bintang itu. Dia menundukkan kepalanya, matanya
seketika terpejam, merasakan sepenuhnya rasa janggal itu. Satu tetes, dua
tetes, tiga tetes.... Entah berapa tetes sudah air itu mengalir, memperparah
rasa itu.
Pikirannya berpusar ke
kenangan-kenangan yang tersimpan rapi di memorinya, kenangan-kenangan yang
sudah berkali-kali dihilangkannya, namun gagal dan gagal. Terlalu indah. Tidak
akan pernah ada yang bisa menghapuskan kenangan-kenangan yang semakin permanen
itu.
Dia sebenarnya tidak ingin
menuntut apa pun. Hanya saja hatinya tak pernah berhenti berteriak dan memohon,
membuat rasanya semakin kelu, semakin tak terelakkan...
Ketika kecil, pernahkah kamu
menginginkan sebuah mainan dan ketika tiba hari ulang tahunmu dan kamu menerima
hadiahmu, kamu membukanya penuh antusias, dan menemukan sebuah mainan yang.....
sedikit berbeda dari keinginanmu? Kamu ingin merah namun mendapatkan biru. Ada
sebersit rasa kesal, ada air yang menggenang di sudut matamu, yang berusaha
kamu sembunyikan atau bahkan dengan bebasnya kamu menunjukkan ketidak-sukaanmu.
Pernahkah?
Dia sedang mengalaminya.
Dijulurkannya tangannya ke tepian balkon, digenggamnya besi yang mulai dingin
karena udara malam setelah sore tadi hujan turun. Kembali ditatapnya
bintang-bintang yang masih menemaninya dalam rasa janggal yang tak henti itu,
kembali keindahan itu dipudarkan. Kepalanya kembali tertunduk. Tetesan bening
itu satu demi satu menyusul tetesan lain yang sudah tiba di dekapan dingin ubin
putih.
Diingatnya ucapan demi ucapan
dari keluarganya, sahabat-sahabat istimewanya, dan teman-temannya. Pelukan dan
ciuman, lebih dari itu: perhatian mereka, masih terasa begitu hangat di pipi,
tubuh, dan hatinya. Namun masih ada satu sisi yang dingin, satu sisi yang masih
menanti. Entah akan menciptakan senyum atau tangis...
Satu huruf berhasil ditulis di
tengah tangan yang berguncang hebat bersamaan dengan tetesan yang melebat, di
salah satu halaman buku bersampul merah itu.
4 Februari 2013,
22:05
Comments
Post a Comment