Dia dan Rasanya


“Jadi, sampai sekarang kamu masih berkutat di dia? Jangan sampai ke-statis-anmu bikin kamu lupa caranya jatuh cinta lho!”
                Terlalu menohok. Anggukan dan senyum, dia mengiyakan.
                Apalagi? Memang benar, rasanya masih tertahan di satu sosok itu. Orang bilang, cinta pertama adalah di mana kita menaruh rasa begitu dalam pada sesorang hingga kita tidak dapat melupakannya, sekeras apa pun usaha kita. Ya, mungkin sosok itu memang cinta pertamanya.
                Tidak cukup satu tahun. Dua setengah tahun sudah dia menyimpan segalanya dengan baik, menyembunyikannya dengan sempurna, membagikannya hanya dengan sahabat-sahabat terpercayanya. Rasa itu tersimpan, semakin sempurna setiap waktunya, menuju atau bahkan sudah mengkristal. Abadi.
                Dua tempat yang berbeda, dua cara yang berbeda, dua jarak yang berbeda, dua pikiran yang berbeda, dua pilihan yang berbeda, dan bahkan dua hati yang...... berbeda. Perbedaan yang sampai sekarang belum berhasil disatukan karena perbedaan itu berlangsung dalam hening yang begitu pekat, terkadang menyayat.
                Tak tehitung berapa kali sudah dia harus mengalami rasa-rasa janggal dalam kisahnya itu. Tidak menyerah, namun juga tidak memperjuangkan untuk sebuah kemajuan. Dia hanya ingin menunggu. Penantian yang penuh kesakitan, ketidakpastian, dan kekhawatiran. Sesungguhnya dia terhalang oleh sebuah tembok yang sudah diketahuinya, yang sudah diamatinya sejak tembok itu separuh jadi, hingga kini semakin kokoh. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali ingin berusaha untuk sedikit maju, tembok itu seolah mendekap mulutnya, mengubah pikirannya, dan tentunya menyakiti hatinya.
                Dalam hening itu, hati yang telah memilih tak pernah beranjak. Dalam setiap kelu yang menyambangi sisi itu, hati yang telah bersandar tak pernah meninggalkan. Dalam setiap ingatan akan tembok itu, hati yang telah bersungguh tak pernah mundur.
                Tak ada gerakan maju, tak ada gerakan mundur. Statis. Persis seperti yang dikatakan.  Dia hanya ingin menunggu. Namun dia menolak peringatan temannya akan kes-statis-annya karena dia tidak pernah berhenti jatuh cinta semenjak sosok itu memiliki peran begitu berarti dalam kisahnya. Cintanya sudah jatuh sepenuhnya pada sosok itu. Sampai kapan? Dia tidak berani memastikan. Yang dia rasakan hanyalah cinta itu terus hadir dan terus hangat dalam dirinya, apapun yang Empunya Hidup goreskan dalam lembar kisahnya...







5 Februari 2013, 08.45
(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts