I was A Stalker
Berapa malam sudah kulewati? Berapa
keberanian sudah kukeluarkan? Berapa pulsa modem sudah kurelakan?
Kala
itu aku begitu kalap akan info dan perkembanganmu. Kala itu aku masih begitu
memujamu. Kala itu aku tak begitu ambil peduli dengan masa yang akan datang. Kala
itu yang kuingin hanya kamu meskipun kamu tidak tahu inginku itu. Dan sekarang
aku tersadar, kala itu adalah masa-masa aku melakukan kesalahan besar dalam
kisahku...
Being a stalker for a long time. Kurang
kerjaan, memang. Tapi kurasa hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mendukung
usahaku menaruh rasaku dalam senyap. Bisa apa lagi aku selain memandang ‘sosok’
maya-mu? Memandang bulatan kelabu itu menjadi hijau, tersenyum menyadari kamu juga
sedang mengunjungi dunia tak nyata itu, dunia yang menyimpan ribuan kepalsuan
dan harapan. Me-refresh timeline untuk
mengetahui apa yang sedang kamu rasakan melalui ‘kicauan-kicauanmu’, mengetahui
dengan siapa dan topik apa yang kau bahas dengan lawan kicaumu. Tersenyum dan
merasa ‘kicauan’ itu kamu tujukan untukku, meskipun ada suara yang berkata,”Mimpi!
Nggak mungkin lah itu ditujukan untukmu. Pasti untuk orang lain.” Lalu rasa penasaran
pun membuncah. Menulusuri akun demi akun, berusaha mencari tahu. Hanya sekedar
tahu saja. Tak ada tindakan lebih lanjut. Sekedar menenangkan batin.
Meskipun kamu tidak
pernah menyapaku barang sekata dalam dunia itu dan lebih sering berkicau dengan
orang lain yang tak jarang adalah kaumku, perempuan, aku tetap ‘menengokmu’
setiap kali aku masuk dunia itu. Tak terasa, hal itu menjadi rutinitas wajib
bagiku. Rutinitas itu berlangsung cukup lama. Rutinitas yang tidak berdampak
baik bagiku, dan tentunya tidak membawa kemajuan berarti bagi rasaku. Diam dalam
nyata, diam dalam maya.
Layaknya hujan yang
bermula dari angin, gemuruh petir, hujan rintik-rintik menggelitik, kemudian
menderas, berkolaborasi dengan kilat menari, di suatu hari. ‘Menengokmu’,
rutinitasku di dunia itu, semakin waktu terasa semakin membebaniku. Bukan membebani
masalah harus rutin mengisi modem, meskipun itu juga salah satu beban, tetapi
lebih ke membebani batin dan pikirku.
Untuk apa selama ini
aku hanya melongok dari balik tiang di terasmu, melihatmu sedang berbincang
hangat dengan seorang perempuan, atau bahkan lebih, tertawa ceria, berbagi
kisah, menebar doa, sementara aku hanya melongok dengan rasa yang semakin
menjerumus namun tidak bisa doing
something, tidak seperti mereka yang sedang berbincang denganmu. Rasa tertekan
itu mulai menubruk ketenangan dan kesenanganku di permulaan.
Semakin lama, rutinitas
itu tidak lagi mengasyikkan. Sebaliknya, malah menjadi menyakitkan. Semuanya baru
terasa setelah sekian lama aku melakukannya. Menyadari ketidakberuntunganku
dibanding ‘mereka’ itu. Mereka yang kamu sapa, mereka yang kamu ajak berkicau,
mereka yang kamu berikan doa, mereka yang tidak sepertiku, yang mengharapkan
sedikit darimu, namun harap itu selalu lolos dari genggamanku yang menanti every single minute.
Tidak hanya ‘kabarmu’
yang aku dapat, namun juga rasa tak mengenakkan itu. Berbagai rasa negatif
menghantamku, saling berebut mencoba menarik rasaku yang sudah terlanjur
mendalam. Aku salah. Kenapa aku harus menengokmu kalau ini yang akhirnya
kudapat? Useless. Akan menjadi
menyenangkan kalau kamu menyadari hadirku di terasmu dan kamu menghampiriku,
atau setidaknya menyapaku. Sepatah kata merubah segalanya. Tapi sayang, sayang
bagiku, kamu tidak melakukannya. Kamu memilih untuk tetap seseruan dengan ‘mereka’
itu. Ya, mungkin mereka memang lebih mengasyikkan. Dengan mereka, tidak akan
ada masa lalu yang selalu terlintas, yang membekukan setiap kata, gerak, dan
niat. Dengan mereka, segalanya terasa aman. Tidak begitu jika denganku.
Mungkin. Itu hanya
terkaanku. Apalagi yang bisa aku lakukan sekarang selain menerka-nerka di
tengah hantaman rasa-rasa itu?
Maaf, sudah beberapa
bulan ini aku tidak lagi melongok di balik tiang terasmu. Bukannya tidak ingin
mengetahui keadaanmu, hanya saja, dengan terus berusaha mengetahui tentangmu,
rindu disertai perasaan menyesakkan itu terus memelukku. Kini, aku hanya duduk
manis di balkon kamarku, sesekali tersenyum, merasa gemas, atau kembali
merasakan dipeluk rindu dan perasaan menyesakkan itu setiap kali kamu melintas
di jalan yang terhampar di depanku, di dunia tak nyata itu....
Kamar Saka, Adhitia Sofyan-ing, 22:30
(Agatha Elma Febiyaska)
Comments
Post a Comment