Menjejak Titik Lelah



Kata demi kata yang dia susun menjadi beberapa rangkaian kalimat indah nan mengagumkan itu merobek segalanya. Segalanya...

            Sabar demi sabar yang kutumpuk di sudut dalam sana, yang kini sudah menjulang dan bergoyang siap untuk roboh setiap saat, yang kini sudah mulai rapuh...
            Jarak demi jarak yang setiap waktu bergeser, bertambah panjang dan semakin memisahkan. Semakin menyamarkan keberadaannya dari hadapku...
            Harap demi harap yang kugantungkan dalam setiap bintang di kekelaman, yang kusisipkan dalam setiap doa yang terucap, yang kubisikkan dalam hati setiap rasa ingin itu menerjang...
            Titik demi titik air yang sukar tercurah. Titik air yang merebak di ujung keputus-asaan, di ujung harap yang semakin mustahil...
            Senyum demi senyum yang ganjil terbentuk, yang terbentuk untuk menunjukkan betapa kuatnya aku. Kuat mengguratkan rasa ini dalam kisahku. Aku kuat, di depanmu. Di belakangmu? Kamu tidak perlu mengetahui masa runtuhku...
            Penyangkalan demi penyangkalan diri yang terucap, terpikir, maupun tertulis. Menghindar dari rasa tak nyaman yang meremukkan. Rasa yang seharusnya tak kualami kalau itu bukan dia...
            Perubahan demi perubahan yang terjadi setiap gulir waktu. Aku yang tak lagi se-siap dulu, aku yang tak lagi se-tegar dulu, aku yang tak lagi se-optimis dulu. Dia yang tak lagi se-akrab dulu, dia yang tak lagi se-terbuka dulu, dia yang tak lagi se-per-ti du-lu...
            Bait demi bait puisi yang tercipta dalam hitungan menit. Tangis yang tak menjelma kata. Tangis yang sendu dan mengiris. Tangis yang bisu, yang membeku...
            Ketika kekcewaan, kesedihan, dan kemarahan tak lagi muncul saat bagian itu kembali terkoyak. Tawa dan kegemasan getir yang muncul, mewakili semua rasa yang sesungguhnya berjejalan untuk diekspresikan. Tawa putus asa. Mencoba untuk ikhlas, namun sama sekali gagal...
            Tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, tanggapan seperti apa yang harus tercipta. Sedih? Lebih dari itu. Sakit? Tak ada yang bisa memastikan se-sakit apa lagi. Kecewa? Tak cukup menggambarkan. Iri? Tak mungkin untuk berkata tidak.


            Terus menyalahkan diri sendiri
sudah membuatku
menjejak titik lelahku...







Kamar Saka, Kenny G-ing, 21:55
(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts