Cerpen Pengembangan dari Post "Mimpi Senja"
Dia menarik tanganku, mengajakku menaiki
tangga demi tangga. Dia masih bertelanjang dada entah karena alasan apa.
Sebuah
pintu coklat berukir sederhana mulai nampak di ujung tangga. Masih dalam diam,
dia mengulurkan tangan untuk membuka pintu yang nampak rapuh itu. Tempat
menjemur pakaian! Aku yakin dia menarikku ke sini bukan untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga itu.
Dia
masih menggenggam erat tanganku, seolah aku begitu mudah terjatuh atau terbawa
angin dengan tubuh suburku ini. Di perbatasan antara atas dan bawah, dia
melepaskan genggamannya di tanganku, lalu mengarahkan tubuhku ke suatu sudut
tak berbatas. Matahari terbenam sebentar lagi!
Aku
terdiam. Terpukau melihat pemandangan indah itu. Sungguh, selama delapan belas
tahun aku berkelana menjalani kisahku, baru kali ini aku benar-benar menatap
keindahan langit senja. Dasar fotografer! Paling bisa menemukan objek
spektakuler!
Jingga
itu tinggal sebagian. Aku beringsut di balik tubuhnya, memberinya kesempatan
untuk melihat hal indah itu meskipun aku tahu dia sudah melihatnya dan
menjepretnya berpuluh kali. Dan memang nampaknya tak berguna aku beringsut
karena tinggiku hanya se-dagunya, tak akan menghalangi pandangannya, tentu.
Tapi aku tetap ingin memberinya kesempatan itu, seperti aku ingin mendapatkan
kesempatanku. Untuk memeluknya...
Langit
sudah redup. Bahagia itu masih berpendar-pendar menggembirakan di sekitarku, di
sekitar kami. Aku ingin mendapatkan kesempatanku. Sekarang!
Aku
memeluk tubuhnya dari belakang, menempelkan tubuhku pada tubuhnya seolah kami
ini memang berkaitan satu sama lain. Tak peduli pipi dan sebagian tubuhku basah
terkena keringat di punggung telanjangnya. Dia menggenggam kedua telapak
tanganku yang bertaut di dadanya.
Lama.
Entah sudah menit ke berapa, kami masih juga menyatu. Menikmati setiap sensasi
yang mengalir dalam diri masing-masing. Berusaha mengungkapkan rasa melalui
pikiran yang seperti terjalin satu sama lain.
Akhirnya
dia melepas lembut tautan tanganku, lalu membalikkan tubuhnya ke arahku. Masih
dengan lembut, dia menggenggam kedua tanganku dan berusaha menatap mataku yang
berusaha kusembunyikan dengan menatap lantai berdebu. Inilah kenapa aku memilih
mengambil kesempatanku melalui ‘jalan belakang’. Aku malu jika harus beradu
pandang dengannya, laki-laki yang belum lama ku kenal, namun dengan cepat
menarik seluruh perhatian dan.... hatiku.
Dia
melepaskan tangan kanannya dari genggaman itu, namun tetap mempertahankan yang
satunya agar genggaman itu tak berakhir. Tangan kanannya meraih saku belakang
celana selututnya. Sebuah cincin! Dengan sigap, dia meraih tangan kiriku dan
menyematkan cincin berdetail sederhana namun memesona itu di jari manisku.
Tuhanku!
Aku
langsung mememeluknya, dari depan sekarang. Rasa malu itu sudah hilang. Aku
memeluknya, erat-erat. Aku ingin bersamanya. Selamanya. Aku merasakan dia balas
memelukku dengan erat. Seolah apa yang kami rasakan dan kami inginkan tak
memiliki perbedaan sedikit pun. Kami ingin bersama.
Pelukan
itu tidak berlangsung lama, namun sangat memuaskan batinku. Lagi-lagi, dia yang
mengurai tanganku, melepaskan pelukan itu. Tapi aku tahu, dia tidak bermaksud
mencampakkanku setelah keindahan-keindahan tadi. Betul saja, dia menarik
tubuhku agar lebih dekat dengannya, memeluk pinggangku, lalu mengecup keningku.
Tertahan dan menyenangkan.
Aku
yang melesat tua setahun di atasnya dan dia sang fotografer yang sederhana,
namun telah memenangkan hatiku secara tidak sederhana. Tanpa kata, kami
akhirnya berjanji untuk berjalan bersama menembus kejadian demi kejadian yang
siap menghampiri di kehidupan yang akan datang. Besok, lusa, dan seterusnya. We’re united without words.
* * *
“Hei, ngapain kamu?!” teriakku sambil menutup wajah dengan kedua tanganku,
menolak untuk dipotret.
“Kok
malah ditutupin? Padahal itu yang aku incar!” ujarnya lalu tertawa.
Di
tetap di tempatnya, lima langkah dari tempatku duduk. Sekarang kamera canggih
itu tergantung lemah di lehernya. Senyum ramah tercetak di wajahnya. Aku tak
begitu memedulikannya, mencoba sok sibuk dengan buku di depanku. Mana sih Moly
dan Rhea? Lama sekali nggak datang-datang!
Aku
mulai risih, malu, atau..... Salah tingkah?
Dia
tak segera beranjak dari sana, tapi sekarang dia kembali sibuk membidik.
“Nunggu
temen atau.... pacar?”
Aku
mengangkat kepalaku, mencari-cari apakah ada orang lain di sekitarku. Tidak ada.
“Malah
bingung!” katanya lagi, kini meninggalkan bidikannya dan mengarahkan pandang
padaku.
“Habisnya,
kamu nggak jelas sih! Ngomong ke siapa, liat ke mana!”
Loh,
kok aku jadi ketus menanggapinya?
Dia
tertawa, lali mendekat dan duduk di kursi sebelahku.
“Jang—”
CKLIK! “Ih! Rese deh!” Terlambat. Pasti wajahku terlihat konyol dan jelek
sekali. “Hapus dong!”
“Yeeee....
Udah nanggepinnya jutek, sekarang seenaknya suruh ngehapus pula!” Dia tertawa
melihat ekspresiku. Sial!
Aku memberengut,
kembali berusaha mengalihkan perhatian ke buku di hadapanku.
“Aku
Wahyu. Siapa tahu suatu saat kamu pengen dipotret, kamu bisa cari aku di SMA
Pelajar Utama.”
Oh.
Anak SMA. “Nggak bakal!” jawabku ketus tanpa berusaha menatapnya.
“Oke,
nggak masalah. Hmm... Kayaknya itu temen-temen kamu udah dateng. Aku pergi
dulu, ya!”
“Terserah.”
Aku benar-benar tak tertarik dengaan bocah itu. Dia mengedikkan bahu sembari
tersenyum, lalu melangkah pergi. Aku memerhatikan kepergiannya dari sudut
mataku.
* * *
“Siapa tuh cowok tadi?”
“Iya,
siapa? Keren tuh bawaannya!” ujar Rhea menimpali.
“Tau
deh! Rese banget dia! Masak tadi tuh ya...” Cerita pun mengalir dari bibirku
mengenai peristiwa menyebalkan tadi. Umpatan ‘cowok sok keren’, ‘anak ingusan’,
dan sebagainya pun terlontar tak terjaga.
Moly
dan Rhea tertawa di akhir ceritaku, ketika aku ngos-ngosan karena terlalu
bersemangat bercerita.
“Sebel
kok ceritanya semangat banget gitu?” kat Moly menggodaku.
“Itu
efek sebel yang berlebih, tau! Kamu sih nggak ngerasain!” elakku.
“Kalo
aku sih malah seneng difoto-foto gitu. Berasa artis yang dikejar paparazzi deh!”
“Dih,
dasar artis nggak kesampaian!”
“Iya!”
timpal Rhea mem-final-kan.
Aku
kembali berusaha menekuni bukuku, sementara kedua sahabatku itu sibuk
berimajinasi mengenai cowok tadi. Sedikit tertarik, aku membuka kuping untuk
mengikuti pembicaraan ngaco mereka.
Alhasil, tulisan di depanku sama sekali tak terserap.
* * *
Sore
hari, Festival Kesenian Yogyakarta, 3 Juli 2012
CKLIK!
Suasana
hiruk-pikuk pengunjung tidak menulikan pendengaranku akan suara shutter kamera barusan. Memang banyak
yang dengan bangganya menenteng kamera DSLR di sini, tapi suara jepretan
barusan terasa.... dekat.
“Hai!”
Betul
kan! Bocah itu lagi.
“Dua
kali, ya!”
“Apanya?
Dua kali kita dipertemukan sang takdir?”
“Idih!
Ini kedua kalinya kamu motret aku tanpa izin! Dasar rese!”
“Dasar
jutek! Pelit, lagi! Orang-orang, lukisan-lukisan, dan patung-patung itu saja
nggak protes kok dari tadi aku potret!”
Aku
memberengut. Kalah.
“Kalah
kan? Sini minta nomer handphone kamu.
Besok kita jalan. Aku ajak kamu hunting foto
di tempat yang keren banget!”
Aku
melongo. Gila nih bocah!
“Waaaaaaaaaaa.....
Dia cowok keren yang kemaren dulu kamu ceritain itu kan?” kata Rhea tiba-tiba
nongol di sampingku setelah kembali dari toilet.
Cengiran
lebar terpampang di wajah bocah itu. Dasar Rhea plastik es teh bocor!
“Iya,
bener! Itu yang kamu ceritain dengan semangat banget dulu itu kan?” ujar Moly
menimpali. Alamak! Dua sahabat tak tahu diuntung!
“Nah
kan! Ternyata kamu langsung ngenalin aku ke temen-temen kamu, ya? Aku, Wahyu,”
katanya menghabisiku telak-telak sembari mengulurkan tangannya ke Rhea dan Moly
untuk memperkenalkan diri.
“Eh,
tadi kamu minta nomernya Anggi, kan?” tanya Rhea dengan semangat membara.
Bocah
itu kembali memamerkan senyum-sok-melelehkan-nya.
“Kasih
aja, Nggik! Lumayan buat bikin ramai HP kamu,” timpal Moly.
“Iya,
kasih aja. Selama ini kan inbox HP
kamu isinya cuma SMS dari aku sama Moly doang! Biar ada sedikit pencerah
gituuuu... Atau aku aja yang nyebutin, nih?”
“Ih!
Kalian tuh—,” kata-kataku terputus. Aku tidak tahu harus berbicara apa ke
mereka. Aku gemes maksimal sama mereka!
“Tuh,
temen-temen kamu aja udah ngasih restu ke kita kok!” celetuk Wahyu.
Aku
mendelik padanya, dengan ekstra mulut manyun.
* * *
Wow! Benar apa yang dia bilang. Tempat
ini keren, pake banget!
Iya,
akhirnya aku ‘menyerahkan’ nomor handphoneku
ke bocah itu karena kedua sahabatku yang tak tahu malu itu terus-menerus
berteriak,”Kasih! Kasih! Kasih!” yang menambah riuh keriuhan FKY empat hari
yang lalu. Malamnya, Wahyu langsung mengirim pesan padaku. Dan entah kenapa, pesan demi pesan yang saling
kami kirim berjalan dengan lancar dan hanya terputus ketika kantuk merenggutku
dari aktivitas..
“Cieeehhh...
Ngelamunin aku, ya? Sweet banget deh,
kamu!”
Tanpa
kata, aku mencubit lengannya. “Aw!” Sukurin!
“Sini,
deh. Di sebelah sini viewnya lebih
keren!” Wahyu melambaikan tangannya, memberi isyarat padaku untuk mendekat.
Lagi-lagi
apa yang dikatakannya harus kuakui, benar. Candi Ratu Boko berdiri gagah di
belakangku, sementara di hadapanku terbentang kota Yogyakarta versi mini.
Menghampiri
setiap sudut candi dan berhenti beberapa
saat untuk mengambil gambar. Area ini terlalu luas dan melelahkan. Itu
seharusnya. Namun aku tidak merasakan lelah itu. Aku sibuk tertawa, menikmati
keindahan ini, dan difoto. Semua itu melenyapkan rasa lelah yang seharusnya
kurasakan. Aku dengan mudahnya mau dijadikan model dadakan bocah itu. Mungkin
ada daya magis yang membuatku seperti ini.
“Capek?”
“Herannya,
nggak tuh,” jawabku sembari menenggak teh botol dingin yang baru disodorkannya
semenit yang lalu.
“Pasti
karena sama aku kan? Coba kalau sama temen-temen kamu, pasti kamu udah mengeluh
sedari tadi!” ejeknya lalu tertawa.
“Tuhan
bener-bener kreatif ya. Sampai-sampai Dia menciptakan makhluk super pede kayak
kamu!”
* * *
Tidak berhenti di Candi Ratu Boko,
perburuan kami berlanjut ke tempat-tempat menarik lain di kota yang kaya akan
objek wisata alam ini.
Candi
Borobudur, Punthuk Setumbu, Panta Krakal, Pantai Parangtritis, Gua Pindhul, Gua
Tabuh, Keraton, Museum Affandi, Taman Pintar, Kebun Binatang Gembiraloka, dan
berbagai tempat eksotis lain menjadi saksi perjalanan kisah kami. Aku semakin
mahir bergaya di depan kamera, semakin mengenal potensi wisata kota Jogja,
semakin mengenal dunia fotografi, dan semakin......... dekat dengannya. Laki-laki yang dulu kuanggap
bocah ingusan itu kini sosoknya sudah berubah di mataku.
Rhea
dan Moly bersorak gembira, menjerit, menyanyi, membacakan puisi, dan melakukan
hal heboh lainnya setiap kali aku menceritakan ‘hari berburu’-ku dengan
Wahyu. Setiap kali pula mereka
menanyakan bagaimana perkembangan hubunganku dengan Wahyu, namun aku selalu
mengecewakan mereka dengan jawaban,”Ya begini-begini saja. Dia kelihatannya
biasa saja. Konyol as usual.”
Memang
benar begitu. Wahyu kerap menggodaku sehingga aku menganggapnya itu memang
kelakuannya yang kelewat easy going.
Dia mengajakku ke sana-kemari, tapi juga kerap bercerita tentang cewek-cewek
yang pernah atau bahkan sedang mengejar-ngejarnya hanya karena dia suka
fotografi. Dia menceritakannya dengan ekspresi konyol khas dirinya. Aku selalu
gagal berpura-pura ngambek setiap kali dia menceritakan tentang cewek-cewek
itu.
Jadi,
aku tidak tahu bagaimana sebenarnya hubungan kami. Yang aku tahu hanya, aku
nyaman bersamanya dan dia tidak pernah mengungkapkan secara serius perihal
perasaannya. Sampai peritiwa senja itu terjadi....
Nice el :D
ReplyDeleteAh, makasih mbak Cha ({}) ♥
Delete