Cinta dalam Diam
Aku melihatnya pertama kali ketika tahun milenium dengan angka ekor 8 sedang menunggu detik demi detik pergantiannya menjadi tiga angka sebelum tahun perkiraan kiamat. Dan saat itu aku hanya diam karena aku belum mengenalnya.
Aku melihatnya selama tiga hari berturut-turut di pertengahan tahun 2009 ketika aku sudah resmi melepas seragam putih-biruku, ketika aku mengalami masa dilema ketika orang menanyakan aku kelas berapa, ketika retret pemuda gereja. Aku tidak begitu tertarik dengannya, karena saat itu aku sedang memiliki ketertertarikan dengan orang lain yang berada di ruangan yang sama dengan kami. Aku pun hanya diam.
Aku menuntunnya dalam gelap, membasuh kakinya, dan (dengan kurang ajarnya, mengingat usiaku yang lebih muda darinya) menasehatinya dengan kata-kata tak beraturan untuk selalu aktif berkegiatan di gereja. Dan saat itu dia hanya mengangguk sembari tertawa kecil, membuatku merasa semakin bodoh. Itu pun membuatku langsung diam.
Aku bertemu kembali dengannya setelah jeda waktu yang cukup lama setelah retret, ketika pemilihan pengurus. Aku tetap belum tertarik dengannya. Dia menanyakan sekolahku di mana dan beberapa pertanayaan remeh lain yang kujawab dengan jawaban seperlunya, seperti biasa. Selebihnya? Aku hanya diam.
Aku menyadari waktu yang terus berlalu, namun aku belum menyadari kealpaan sosoknya dalam kisahku. Semua terasa biasa saja, sehingga aku hanya diam.
Aku sedang bercumbu dengan laptop ketika Ayah masuk ke kamar dan menyerahkan sebuah undangan, juga sederet nomor HP dengan nama yang asing bagiku, namun aku merasa mengenal nama itu. Kubaca undangan ajakan turut serta dalam pertandingan olah raga pemuda di gereja, lalu tanpa pikir panjang, aku mengirim pesan singkat ke nomor dengan nama asing-tapi-akrab itu, menanyakan kriteria usia peserta. Aku masih berusaha mengingat seperti apa sosok pemilik nama itu. Ketika dia membalas pesan singkatku, kuucapkan terima kasih, tanpa ekstra senyum titik dua-kurung tutup. Kukira selesai sudah, biasalah cowok. Ternyata dia masih membalas, pesan yang kini sudah terpatri dalam benakku Sama2 :))
Aku mendapatkan senyum ganda. Karena aku masih belum bisa mengingat siapa orang yang kukirimi pesan singkat tadi, maka aku hanya diam.
Aku tetap belum tahu siapa sosok itu. Hingga akhirnya suatu malam ada dua orang cowok datang ke rumahku yang sebelumnya sudah janjian denganku, yang kusambut dengan daster berwarna jingga manyala. Oh! Sosok itu, dia. Dia yang pertama kali aku lihat ketika tahun milenium dengan angka ekor 8 sedang menunggu detik demi detik pergantiannya menjadi tiga angka sebelum tahun perkiraan kiamat. Temannya banyak mengajakku bicara, namun dia hanya diam. Dan setelah mereka berpamitan pulang, aku pun berusaha mencerna semuanya dengan diam.
Aku mulai merasakan rasa yang eeewrrr... sejak dia datang ke rumahku. Ketika aku sedang sakit, sehingga sekolah harus antar-jemput, saat perjalanan pulang, aku bertanya ringan namun rakus pada ayahku, “Yah, Mas Itu tuh emang pernah ke rumah ya? Kok dia tau rumah kita?” “Lha nggak tau.” “Pas itu dia naik apa ke rumah? Pas nganter undangan?” “Naik ***** ****” “Ooooo yayaya.”
(Maaf, aku harus membubuhkan bintang-bintang itu demi ke-tidak-frontal-an). Aku merasa, aku akan mulai berbeda dalam bersikap padanya. Aku pun tertawa dalam diam.
Aku masih ingat rapat dan pengambilan undian itu. Peristiwa yang selalu membuatku tersenyum. Namun aku masih lebih banyak diam.
Aku tidak akan pernah lupa dengan peristiwa satu ini! Ketika sedang menjadi supporter pingpong hanya ditemani oleh seorang temanku, kami berdua menyemangati jagoan kami dengan berlebihan, tidak peduli jagoan kami menang atau kalah. Ketika kami diam, dia, yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan, berteriak ke arahku, “Mana suaranya?” dan ketika aku kembali berteriak menyemangati, dia pun tertawa lepas. And from that moment, i started to love his laugh!
Tidak cuma sampai di situ. Ketika sedang asyiknya menyuporteri, tiba-tiba ada seekor ulat bulu yang tentunya membuatku geli dan beringsut dari tempat dudukku. Temanku dengan ‘pintar’nya menutupi ulat itu dengan kertas. Lalu dia datang mendekat, “Ada apa?” “Itu! Ada ulet bulu!” Dia pun membuka kertas konyol itu, lalu menginjak ulat bulu itu! Dia mendekatiku, “Hiiiyy.. hiiyyy.. Hahaha..” SIAL! Aku tidak sempat berterimakasih. Aku terpana. Masih terpana, aku kembali duduk dalam diam.
Aku semakin gila dengan semuanya. Ketika pertengkaran itu, ketika aku melihat wajah luwehmnya beberapa hari setelah pertengkaran, ketika aku dan dia kembali dalam keadaan baik, ketika aku mulai semakin sering curi-curi kesempatan melihatnya di tengah keterbatasan pengelihatanku, ketika aku mulai berani sedikit melontarkan celetukan (yang syukurnya, lucu), ketika aku semakin sering melihat tawanya, ketika aku berusaha tampil sebaik mungkin, ketika aku selalu berharap bertemu dengannya, ketika aku harus menyadari semua itu harus berakhir seiring berakhirnya pertandingan olah raga antar pemuda gereja. Yang luar biasa, aku tetap banyak berpegang pada diam.
Aku semakin sering mengalami galau time ketika memulai menjalani hari tanpa melihatnya, menjalani hari yang penuh penantian untuk melihatnya. Dan semua penantian itu berakhir pada hari ke 25, ketika aku sedang bersama tim tariku. Sahabatku memekik tertahan sembari mengalihkan pandangannya ke arah belakangku. Ketika aku menoleh, itu dia! Aku langsung menunduk. Bahagia, malu, sedih, dan nyesek! Melihatnya pun kulakukan dengan penuh rasa takut dam ragu. Selama hampir satu jam bertahan dengan perasaan kacau itu, tanpa berani melihatnya lebih dari 3 detik, aku yang duduk membelakanginya, tidak mendengar sedikitpun tawanya, tawa favoritku. Akhirnya, setelah lelah dengan tawa palsu yang terdengar tak wajar, aku memutuskan untuk diam.
Aku semakin terpuruk dalam kondisi perasaan tak menentu. Mendengarkan lagu galau dan saling bertukar kegalauan dengan sahabatku menjadi rutinitas setiap malam yang menyebabkan jam tidurku menjadi kacau. Aku ingin dia, tapi apa yang kulakukan? Terus diam, diam, dan DIAM! Sementara aku mulai menyadari bahwa ternyata dia sama denganku, sosok yang diam. Ora bakal rame nek ora disumet. Tidak akan cerewet kalau tidak ada sahabatnya. Sama seperti aku. Kami penuh dengan diam.
Aku semakin merasa apa yang kurasakan semakin kuat. Semua memuncak ketika aku tahu sebuah fakta tentangnya dari sahabatku. Aku ingin ada di sampingnya, aku ingin mendengar keluh-kesahnya, dan aku ingin memberi solusi atas masalahnya jika dia tidak keberatan. Aku ingin mendukungnya! Namun aku yang pemalu ini (percaya deh) hanya bisa diam melihatnya mengalami sebuah masalah.
Aku semakin bodoh ketika aku kembali melihatnya setelah 7 hari berlalu. Aku mendoakannya, tanpa sadar ternyata dia berada di satu bangunan yang sama di mana aku sedang memanjatkan doa untuknya. Aku melihatnya. Dengan penampilan barunya yang lebih fresh. Aku pun merasa bersalah karena memanggil temanku untuk berbicara yang tidak penting sebagai alibi untuk melihatnya lebih lama lagi. Aku merasa bodoh ketika aku sedang mengendarai motorku, aku masih ragu apakah sosok yang sedang berjalan itu dia atau bukan, dan ketika motorku sejajar dengan sosok itu, aku malah kaget, bukannya menyapa. Padahal itu peluang bagus. Aku pun menyesal. Dan lagi-lagi aku hanya diam!
Aku mengenalnya dalam diam
Aku mengaguminya dalam diam
Aku mencintainya dalam diam
Kamar, Masih saat Jam Tidur Rancu, 22:10
(Agatha Elma Febiyaska)
Aku melihatnya selama tiga hari berturut-turut di pertengahan tahun 2009 ketika aku sudah resmi melepas seragam putih-biruku, ketika aku mengalami masa dilema ketika orang menanyakan aku kelas berapa, ketika retret pemuda gereja. Aku tidak begitu tertarik dengannya, karena saat itu aku sedang memiliki ketertertarikan dengan orang lain yang berada di ruangan yang sama dengan kami. Aku pun hanya diam.
Aku menuntunnya dalam gelap, membasuh kakinya, dan (dengan kurang ajarnya, mengingat usiaku yang lebih muda darinya) menasehatinya dengan kata-kata tak beraturan untuk selalu aktif berkegiatan di gereja. Dan saat itu dia hanya mengangguk sembari tertawa kecil, membuatku merasa semakin bodoh. Itu pun membuatku langsung diam.
Aku bertemu kembali dengannya setelah jeda waktu yang cukup lama setelah retret, ketika pemilihan pengurus. Aku tetap belum tertarik dengannya. Dia menanyakan sekolahku di mana dan beberapa pertanayaan remeh lain yang kujawab dengan jawaban seperlunya, seperti biasa. Selebihnya? Aku hanya diam.
Aku menyadari waktu yang terus berlalu, namun aku belum menyadari kealpaan sosoknya dalam kisahku. Semua terasa biasa saja, sehingga aku hanya diam.
Aku sedang bercumbu dengan laptop ketika Ayah masuk ke kamar dan menyerahkan sebuah undangan, juga sederet nomor HP dengan nama yang asing bagiku, namun aku merasa mengenal nama itu. Kubaca undangan ajakan turut serta dalam pertandingan olah raga pemuda di gereja, lalu tanpa pikir panjang, aku mengirim pesan singkat ke nomor dengan nama asing-tapi-akrab itu, menanyakan kriteria usia peserta. Aku masih berusaha mengingat seperti apa sosok pemilik nama itu. Ketika dia membalas pesan singkatku, kuucapkan terima kasih, tanpa ekstra senyum titik dua-kurung tutup. Kukira selesai sudah, biasalah cowok. Ternyata dia masih membalas, pesan yang kini sudah terpatri dalam benakku Sama2 :))
Aku mendapatkan senyum ganda. Karena aku masih belum bisa mengingat siapa orang yang kukirimi pesan singkat tadi, maka aku hanya diam.
Aku tetap belum tahu siapa sosok itu. Hingga akhirnya suatu malam ada dua orang cowok datang ke rumahku yang sebelumnya sudah janjian denganku, yang kusambut dengan daster berwarna jingga manyala. Oh! Sosok itu, dia. Dia yang pertama kali aku lihat ketika tahun milenium dengan angka ekor 8 sedang menunggu detik demi detik pergantiannya menjadi tiga angka sebelum tahun perkiraan kiamat. Temannya banyak mengajakku bicara, namun dia hanya diam. Dan setelah mereka berpamitan pulang, aku pun berusaha mencerna semuanya dengan diam.
Aku mulai merasakan rasa yang eeewrrr... sejak dia datang ke rumahku. Ketika aku sedang sakit, sehingga sekolah harus antar-jemput, saat perjalanan pulang, aku bertanya ringan namun rakus pada ayahku, “Yah, Mas Itu tuh emang pernah ke rumah ya? Kok dia tau rumah kita?” “Lha nggak tau.” “Pas itu dia naik apa ke rumah? Pas nganter undangan?” “Naik ***** ****” “Ooooo yayaya.”
(Maaf, aku harus membubuhkan bintang-bintang itu demi ke-tidak-frontal-an). Aku merasa, aku akan mulai berbeda dalam bersikap padanya. Aku pun tertawa dalam diam.
Aku masih ingat rapat dan pengambilan undian itu. Peristiwa yang selalu membuatku tersenyum. Namun aku masih lebih banyak diam.
Aku tidak akan pernah lupa dengan peristiwa satu ini! Ketika sedang menjadi supporter pingpong hanya ditemani oleh seorang temanku, kami berdua menyemangati jagoan kami dengan berlebihan, tidak peduli jagoan kami menang atau kalah. Ketika kami diam, dia, yang bertugas mengawasi jalannya pertandingan, berteriak ke arahku, “Mana suaranya?” dan ketika aku kembali berteriak menyemangati, dia pun tertawa lepas. And from that moment, i started to love his laugh!
Tidak cuma sampai di situ. Ketika sedang asyiknya menyuporteri, tiba-tiba ada seekor ulat bulu yang tentunya membuatku geli dan beringsut dari tempat dudukku. Temanku dengan ‘pintar’nya menutupi ulat itu dengan kertas. Lalu dia datang mendekat, “Ada apa?” “Itu! Ada ulet bulu!” Dia pun membuka kertas konyol itu, lalu menginjak ulat bulu itu! Dia mendekatiku, “Hiiiyy.. hiiyyy.. Hahaha..” SIAL! Aku tidak sempat berterimakasih. Aku terpana. Masih terpana, aku kembali duduk dalam diam.
Aku semakin gila dengan semuanya. Ketika pertengkaran itu, ketika aku melihat wajah luwehmnya beberapa hari setelah pertengkaran, ketika aku dan dia kembali dalam keadaan baik, ketika aku mulai semakin sering curi-curi kesempatan melihatnya di tengah keterbatasan pengelihatanku, ketika aku mulai berani sedikit melontarkan celetukan (yang syukurnya, lucu), ketika aku semakin sering melihat tawanya, ketika aku berusaha tampil sebaik mungkin, ketika aku selalu berharap bertemu dengannya, ketika aku harus menyadari semua itu harus berakhir seiring berakhirnya pertandingan olah raga antar pemuda gereja. Yang luar biasa, aku tetap banyak berpegang pada diam.
Aku semakin sering mengalami galau time ketika memulai menjalani hari tanpa melihatnya, menjalani hari yang penuh penantian untuk melihatnya. Dan semua penantian itu berakhir pada hari ke 25, ketika aku sedang bersama tim tariku. Sahabatku memekik tertahan sembari mengalihkan pandangannya ke arah belakangku. Ketika aku menoleh, itu dia! Aku langsung menunduk. Bahagia, malu, sedih, dan nyesek! Melihatnya pun kulakukan dengan penuh rasa takut dam ragu. Selama hampir satu jam bertahan dengan perasaan kacau itu, tanpa berani melihatnya lebih dari 3 detik, aku yang duduk membelakanginya, tidak mendengar sedikitpun tawanya, tawa favoritku. Akhirnya, setelah lelah dengan tawa palsu yang terdengar tak wajar, aku memutuskan untuk diam.
Aku semakin terpuruk dalam kondisi perasaan tak menentu. Mendengarkan lagu galau dan saling bertukar kegalauan dengan sahabatku menjadi rutinitas setiap malam yang menyebabkan jam tidurku menjadi kacau. Aku ingin dia, tapi apa yang kulakukan? Terus diam, diam, dan DIAM! Sementara aku mulai menyadari bahwa ternyata dia sama denganku, sosok yang diam. Ora bakal rame nek ora disumet. Tidak akan cerewet kalau tidak ada sahabatnya. Sama seperti aku. Kami penuh dengan diam.
Aku semakin merasa apa yang kurasakan semakin kuat. Semua memuncak ketika aku tahu sebuah fakta tentangnya dari sahabatku. Aku ingin ada di sampingnya, aku ingin mendengar keluh-kesahnya, dan aku ingin memberi solusi atas masalahnya jika dia tidak keberatan. Aku ingin mendukungnya! Namun aku yang pemalu ini (percaya deh) hanya bisa diam melihatnya mengalami sebuah masalah.
Aku semakin bodoh ketika aku kembali melihatnya setelah 7 hari berlalu. Aku mendoakannya, tanpa sadar ternyata dia berada di satu bangunan yang sama di mana aku sedang memanjatkan doa untuknya. Aku melihatnya. Dengan penampilan barunya yang lebih fresh. Aku pun merasa bersalah karena memanggil temanku untuk berbicara yang tidak penting sebagai alibi untuk melihatnya lebih lama lagi. Aku merasa bodoh ketika aku sedang mengendarai motorku, aku masih ragu apakah sosok yang sedang berjalan itu dia atau bukan, dan ketika motorku sejajar dengan sosok itu, aku malah kaget, bukannya menyapa. Padahal itu peluang bagus. Aku pun menyesal. Dan lagi-lagi aku hanya diam!
Aku mengenalnya dalam diam
Aku mengaguminya dalam diam
Aku mencintainya dalam diam
Kamar, Masih saat Jam Tidur Rancu, 22:10
(Agatha Elma Febiyaska)
Comments
Post a Comment