Cerpen: Sering

Di saat Avi, ‘teman ramai-ku’ yang duduk di belakangku menceritakan dengan heboh konflik yang sedang dialaminya dengan pacarnya, aku hanya mendengar, mencerna, lalu berusaha memberi masukkan. Di saat Jihan, ketua kelasku yang terkenal sebagai cewek yang super galak dan tegas, tiba-tiba menangis histeris karena putus dengan pacarnya, aku berusaha menghiburnya dengan kata-kata klasik, “Sudah, sayang air matamu terbuang sia-sia untuk cowok macam itu. Masih banyak cowok yang jauh lebih baik dari dia. Senyum dooongg..” Tak lupa aku mengelus pundaknya, turut ber-empati. Di saat Ika curhat padaku mengenai pacar-satu-setengah-tahunnya yang mulai jarang membalas SMS-nya, suka berbohong, dan malas diajak ketemuan, aku dengan enteng berkata, “Pacaranmu sudah nggak sehat. Lebih baik putus saja kamu dengannya! Daripada setiap malam kamu menangisinya, padahal belum tentu dia memikirkanmu, lebih baik segera kamu akhiri hubunganmu dan semua akan menjadi baik-baik saja.” Lalu Ika pasti selalu menjawab, “Tapi aku sayang banget sama dia. Lagipula kita sudah satu setengah tahun pacaran. Nggak segampang itu untuk mutusin dia dan ngelupain dia.” Dan aku pun aku menimpali,”Terserah kamu. Pokoknya aku nggak suka sama cowok kamu itu! Dia udah bikin kamu sakit. Mendingan kamu sama Chaco aja. Dia jauuuuuhhh lebih baik dari cowok kamu!” Selalu, pada akhirnya, Ika akan cemberut dan tidak mengajakku ngobrol beberapa jam pelajaran. Aku sih cuek saja.
Yah, baiklah. Nampaknya mudah disimpulkan, bahwa: AKU TIDAK PUNYA PACAR. Bahkan, yang lebih parah, aku belum pernah berpacaran hingga usiaku menginjak 17 tahun. Terserah kalian mau menertawaiku, mengejekku, atau apapun, monggoooo... Tapi inilah aku. Aku kerap kali memberi saran pada teman-temanku mengenai kehidupan percintaan mereka, meskipun aku belum pernah berpacaran. Aku sukamenyumbangkan pendapat tentang love life teman-temanku kalau mereka meminta. Kebanyakan dari mereka berterimakasih dan menganggap pendapatku oke punya meskipun mereka tahu aku belum pernah mengalami apa yang sedang mereka alami. Entah dari mana aku mendapatkan ‘ilham’ untuk berpendapat. Ya tapi memang aku sadar, terkadang aku berkomentar seolah-olah aku tak punya belas kasihan, seperti ketika aku menyuruh Ika untuk memutuskan pacarnya. Aku pikir itu yang terbaik untuknya. Namun, bagi Ika mungkin memang susah karena ia sudah begitu sayang pada pacarnya. Tapi aku kan tidak tahu bagaimana rasanya. Aku hanya menasehati berdasarkan logikaku saja, bukan pengalamanku. Sungguh, aku tidak bermaksud jahat pada sahabatku itu. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya. Dan aku akan memperjuangkannya.

* * *
Lupakan masalah mengenai aku yang tidak punya pacar dan bahkan belum pernah berpacaran. Bagiku tidak masalah aku tidak memiliki pacar karena aku punya sembilan sahabat yang selalu membuat hariku menjadi unik dan tidak monoton. Banyak kan sahabatku? Inilah yang membuatku merasa begitu ‘kaya’. Kesembilan manusia itu adalah Ika, Mona, Deta, Ote, Anggi, Bunga, Ami, Rhe, dan Candra. Kami semua adalah sekumpulan cewek yang selalu membuat heboh tempat di mana kami berada.
Semua sahabatku itu sudah pernah berpacaran dan masih ada beberapa yang berpacaran sampai saat ini.  Yang aku suka dari mereka, mereka masih bisa membagi waktunya dengan baik. Bisa berpikir kapan saatnya berpacaran, kapan saatnya berkawan.
Duh, kenapa membahas pacar lagi sih? Sedikit nyrempet ati.
Overall, mereka adalah hal yang luar biasa dalam hidupku. Semenjak bersama mereka, aku selalu tahu ke mana harus bercerita ketika aku sedang jatuh cinta pada seorang cowok, tahu ke mana harus meminta pendapat jika aku bingung memutuskan pilihan, tahu ke mana harus menyalurkan energiku yang terkadang berlebihan, tahu bagaimana menghilangkan kebosanan, tahu bagaimana menghapus kesedihan. Tentu saja hanya pada mereka, sahabat-sahabatku!
Ketika ada temanku yang nonton film romantis dengan pacarnya, aku bersama sembilan sahabatku nonton film horor di rumahku dengan segunung camilan, tirai tertutup rapat, lampu yang padam, dan bantal sepulang sekolah. Ketika temanku ada yang bercerita tentang romantisnya dinner bersama pacar satnight  yang lalu, aku pun memiliki cerita tentang makan bersama. Tentunya bersama sembilan sahabatku. Setiap kali kami makan di suatu tempat, kami selalu membuat pengunjung lain menengok ke arah kami karena kami selalu heboh, tak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan dan ditertawakan. Dan ketika ada temanku yang dengan bangganya menggembar-gemborkan kejutan ulang tahun yang diberikan oleh pacarnya, aku dengan jauuuuhhh lebih bangga menceritakan pesta kejutan yang dirancang oleh sembilan sahabatku. Jadi, saat aku berulang tahun ke 17, sembilan sahabatku memberi ucapan pagi-pagi dan berkata bahwa sebenarnya mereka lupa kalau hari itu aku ulang tahun. Okelah, setidaknya mereka tidak melupakan ulang tahunku. Lalu hari itu berjalan biasa saja tanpa ada kejutan, padahal sudah menjadi tradisi kalau ada yang ulang tahun selalu dikerjai. Aku sedikit, kecewa. Dan pada hari Minggu, ketika aku masih tidur dengan selimut tebalku, tiba-tiba ada suara nyanyian Happy Birthday to You begitu keras dan ada yang menarik selimutku. Itu sahabat-sahabatku! Aku berusaha menarik selimutku karena aku malu masih dalam kondisi kusut bangun tidur, namun mereka kembali menarik selimutku dan menarikku bangun dari ranjang, lalu keluar dari kamarku. Mau diapakan aku? Aku melihat ada seseorang di teras yang membawa kue tart. Siapa itu? Semua sahabatku sedang berusaha menarikku dan ada yang merekam kejadian itu pula. Lalu, sesampainya di teras, ternyata yang membawa kue tart itu cowok yang aku sukai! Bisa-bisanya mereka!
Begitu banyak kenangan yang kami lalui bersama. Begitu indah dan tak akan pernah terkupaka, sedikitpun! Mereka spektakuler!
Sampai suatu ketika aku menyadari bahwa aku begitu tergantung pada sahabat-sahabatku. Aku tidak mau mengikuti suatu kegiatan kalau tidak ada minimal satu sahabatku yang ikut pula dalam kegiatan tersebut, aku tidak akan menjadi diriku sendiri jika aku tidak bersama sahabat-sahabatku, aku tidak bisa memutuskan suatu hal sendiri tanpa campur tangan sahabat-sahabatku. Intinya aku menjadi tidak percaya diri. Aku mengalami ketergantungan akut! Aku mulai ketakutan. Memikirkan bagaimana jika aku lulus SMA dan harus berpisah universitas dengan teman-temanku. Apakah aku bisa menghadapi lingkungan di mana tidak ada satu pun sahabatku di sisiku? Apa aku berani?
Aku pun menemukan jawabannya. Aku bisa dan aku berani! Sahabat-sahabatku ada untuk mendukung dan membantuku membentuk kepribadianku. Bukan untuk tiang penyangga aktivitas, bahkan hidupku. Ya, pada awalnya aku memerlukan mereka untuk menemukan siapa aku sebenarnya. Setelah aku menemukan itu, aku dapat terus melanjutkan hidupku meskipun tanpa mereka. Tidak. Tentu saja tidak berarti bahwa lantas aku meninggalkan sahabat-sahabatku. Aku tetap akan bersama mereka, namun aku pun mampu berdiri sendiri dengan diriku seutuhnya, suatu saat nanti ketika keadaan memang mengharuskan seperti itu.
Sahabat selalu ada ketika tak ada cowok yang mendampingiku menjalani hidup, sahabat selalu ada untuk menggantikan tugas diary, sahabat selalu ada untuk dimintai pendapat, sahabat selalu bisa menjadi event organizer yang hebat untuk acara kejutan ulang tahun. Dan yang pasti, sahabat bukanlah zat adiktif yang menyebabkan ketagihan dan ketergantungan! Memang, mereka selalu ada untuk kita, untuk membuat kita bahagia, seperti narkotika. Namun tidak selamanya kita akan tergantung pada mereka.  Suatu saat, mereka ‘hanya’ akan menjadi tokoh yang telah membuat hidup kita berubah. Pada awalnya mereka membimbing kita menemukan diri kita seutuhnya, lalu seiring waktu berganti, akhirnya kita mendapatkan apa yang kita cari. Dan tentu kita sadari, tak selamanya sahabat akan selalu ada di sekitar kita, memompa percaya diri kita setiap saat. Ada kalanya kita harus berusaha sendiri untuk suatu hal. Aku yakin aku bisa, karena mereka, sembilan sahabatku, merupakan dalang di balik kemampuanku untuk beradaptasi meskipun tanpa mereka. Karena mereka, aku bisa melakukan apa yang awalnya tidak bisa aku lakukan.
That’s what friends are for J
Klasik. Tapi memang begitu kenyataannya, bukan? Kisah tentang persahabatan tak akan pernah habis karena merekalah yang salah satu faktor pembentuk kita hingga menjadi seperti sekarang ini.

Comments

Popular Posts