Cerpen: Bacalah, maka Kamu akan Sadar...
Kala itu matahari sudah pulang ke rumahnya. Aku berjalan keluar. Berjalan menuju kumpulan air itu. Setiba di tepiannya, aku duduk. Kumasukkan kedua kakiku ke dalam air itu. Kutatap pepohonan yang berada di hadapanku, di seberang kumpulan air ini. Aku diam. Kembali teringat peristiwa tadi pagi. Saat aku berangkat sekolah, duduk manis di dalam mobil sedan mengkilap, aku menatap keluar jendela. Trio lampu sedang menunjukkan warna merah. Entah kenapa tiba-tiba tatapanku terfokus pada seorang penjual siomay yang membawa dagangannya dengan sepeda tua. Ia mengayuh sepeda itu. Terkadang sepeda itu nampak oleng, seolah-olah siap terjatuh kapan saja. GUBRAAKK. Benar saja. Sebuah mobil pick up baru saja menyerempet penjual siomay itu. Si penjual siomay dan sepedanya langsung terjatuh. Sementara mobil pick up tadi langsung tancap gas. Tabrak lari. Siomay-siomay yang sudah tertata rapi di dalam panci aluminium itu seketika berserakan di aspal. Pengendara motor dan mobil yang tak peka membunyikan klakson berkali-kali. Menganggap si tukang siomay adalah pengganggu yang membuat jalan menjadi macet dan membuat mereka terlambat sampai sekolah maupun kantor. Ya Tuhan, kapan manusia akan berubah menjadi lebih peka?
* * *
“Nessa, belikan roti untuk papa! Cepat ya!” perintah papa padaku.
Aku membuka pintu mobil, lalu berlari kecil masuk ke dalam minimarket. Dengan langkah tergesa, aku menyusuri rak-rak yang ada di minimarket itu. Roti, kamu di mana sih?? Fiuhhh.... Ternyata rak roti ada di dekat pintu masuk! Kuambil dua bungkus roti selai cokelat dan segera aku beranjak menuju kasir. Wah. Antriannya panjang juga. Masih ada satu, dua... Oh, tiga orang lagi. Ya ampun, bisa-bisa papa marah kalau aku terlalu lama! Kumainkan kakiku dengan perasaan gelisah takut dimarahi.
Akhirnya setelah ibu ini, giliranku tiba. Kuletakkan dua bungkus roti itu di meja kasir.
“Mbak, punya saya duluan dong! Cuma sedikit ini!” Tiba-tiba seorang pemuda menyelak antrian seraya menyodorkan satu botol air mineral kepada si mbak kasir. Menyebalkan! Dan yang lebih menyebalkan lagi, si mbak kasir mendahulukan si pemuda penyelak ini! Aduh, aku keburu dimarahin papa nih!
Akhirnya si penyelak itu selesai bertransaksi juga. Lalu si mbak kasir langsung menghitung total belanjaanku. Setelah membayar, kutolak dengan halus ketika si mbak kasir hendak membungkus belanjaanku dengan keresek. Selain untuk mencegah global warming, juga supaya tidak membuang waktu lebih lama lagi. Aku berlari keluar dan segera masuk kembali ke dalam mobil.
“Pa, ini rotinya,” kataku sambil menyodorkan dua bungkus roti.
“Ck! Lama banget sih kamu! Udahlah, papa udah nggak nafsu makan lagi!” kata papa sambil menjatuhkan roti itu ke lantai mobil. Pak Tarmo, sopirku sempat melirik ke arah roti itu. Aku hanya diam. Menahan cairan yang hendak meluap dari kedua mataku. Ya Tuhan, kapan manusia akan lebih menghargai orang lain?
* * *
Matahari sedang berkuasa. Aku yang sedang dibuai dalam hembusan AC mobil tetap saja merasakan betapa panasnya matahari saat itu.
Ciiiitt... Suara decitan terdengar jelas. Bagaimana tidak? Kakakku yang sedang asyik ngebut tiba-tiba mengerem karena trio lampu menunjukkan warna merah. Aku tersenyum kecil. Kakakku memang unik. Walaupun suka ngebut, tapi tetap taat peraturan lau lintas.
Ya ampun, banyak sekali pengamen dan pengemis di simpang empat ini. Hei, apa bedanya pengamen dan pengemis? Pengamen yang bawa alat musik sedangkan pengemis yang tidak bawa alat musik. Benarkah? Tak peduli lah.
Tiba-tiba seorang kakek berusia kira-kira lebih dari setengah abad, datang mendekati mobil kakakku ini seraya meraba-raba body mobil. Ini membuat kakak perempuanku itu menjerit tertahan,”Hei! Bisa kotor nih mobil!”
Kakek itu semakin mendekat. Gosh, ia buta. Bagaimana mungkin? Apa ia tidak takut tertabrak kendaraan? Tuhan, lindungilah dia.
Tangan kakek itu terus meraba hingga ia merasa sudah berada di tempat yang tepat. Jendela mobil. Lalu tangannya menengadah mendamba belas kasih.
Kurogoh kantongku dan kutemukan selembar uang bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Nih, kak. Tolong kasih ke pengemis itu,” pintaku.
“Hah? Banyak banget! Kasih gopek aja ‘napa?!” kata kakakku ketus.
“Ya ampun, kak!”
“Kenapa? Nggak suka?!”
Kakek itu masih bergeming dengan tangan menengadah.
“Heh, ada gopek nggak?” tanya kakakku.
Aku menggeleng. Dan saat itu trio lampu telah berubah menjadi warna hijau. Kakakku langsung tancap gas. Hampir saja kakek itu terserempet kalau saja seorang pengamen muda tidak segera menarik kakek itu menyingkir. Ya Tuhan, kapan manusia akan lebih peduli terhadap sesamanya?
* * *
“Ness, gue pulang duluan ya!” kata Resti seraya menepuk pundakku.
“Oh, oke. Hati-hati, ya!”
Resti berlari meninggalkan aku yang sedang berjalan ke arah parkiran. Pak Tarmo pasti sudah menungguku dari tadi.
“Pelit amat sih lo!”
“Buruan deh kasih duit lo ke kita!”
“Iya! Atau lo mau kita hajar?!”
“Ampun, kak. Tapi saya bener-bener nggak ada uang.”
Aku menghentikan langkahku. Di balik tembok kamar mandi ini pasti sedang ada pemalakan! Tiga lawan satu! Bener-bener nggak seimbang!
“Halah! Bo’ong banget lo!” BUKK!
“Udah, habisin aja, bos!” BUK! BUK! BUK!
Terdengar suara rintih kesakitan.
“Ampun, kak. Ampun, kak.”
Aku berlari meninggalkan tempat itu. Aku tidak tega mendengar rintihan kesakitan dan suara memelas memohon ampun itu.
“Lho, Neng, kenapa kok lari-lari?” tanya Pak Tarmo setibanya aku di parkiran.
“Hhhh... Nggak apa-apa kok, pak!” tukasku. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk. Dudukku tidak tenang. Aku memikirkan nasib anak tadi. Ya Tuhan, kapan manusia tidak lagi melakukan kekerasan?
* * *
Kutatap tulisan-tulisan itu. Tulisan yang berisi pengalaman-pengalamanku akan beberapa fenomena sosial. Kukoreksi sekali lagi. Apakah tulisan ini dapat merubah segalanya menjadi lebih baik? Apakah tulisan ini akan benar-benar merubah segalanya hingga kehidupan menjadi damai sejahtera tanpa keegoisan, kekerasan, dan ketidakpedulian? Tentu saja tidak. Bodoh kau, Nessa. Tulisan ini tidak akan pernah merubah segalanya yang buruk menjadi lebih baik sesuai dengan harapanmu! Yang dapat merubah segalanya hanyalah kesadaran orang-orang yang membacanya...
Comments
Post a Comment