Cerpen: Gamelan Senja Hari
Cprooott !!
“Whooopss. Sori, sori, sori. Aku nggak sengaja. Ini nih pakai sapu tangan aku aja buat bersihin,” kata Ditya seraya merogoh kantong celana seragam sekolahnya, mencari-cari sapu tangan.
“Nggak usah, kak. Makasih,” kata cewek yang bajunya kecipratan saos tempuranya Ditya.
Ditya mengangkat kepalanya, lalu baru menyadari kalau yang baru saja diberinya ‘kejutan’ cipratan saos tempura adalah sesosok makhluk ciptaan Tuhan ber-label cewek. Cewek yang cantik. Hmmm... sepertinya dia anak kelas X atau XI. Buktinya, tadi dia memanggil Ditya dengan sebutan ‘kak’.
“Kak? Kakak kenapa?” panggil cewek itu dengan nada cemas. Gimana nggak cemas? Lha wong Ditya tuh tadinya panik, eh tiba-tiba jadi bengong. Mana nggak mingkem lagi! Ckckckck.
“Eh. Iya. Sori. Anu... nggak papa kok! Ini sapu tangannya,” kata Ditya gelagapan setelah tersadar dari bengongnya.
“Nggak usah, kak. Makasih. Mari...” tolak cewek itu sambil meneruskan langkah menuju kantin.
Ditya secara refleks menahan tangan cewek itu. Mencegahnya untuk pergi terlebih dahulu.
“Eeeehhh... Kenapa, kak?” tanya cewek itu bingung.
Ditya segera melepaskan pegangan tangannya. “Emm, sori banget ya soal tadi. Aku bener-bener nggak sengaja. O iya, kalau boleh tahu, nama kamu siapa? Kamu anak kelas mana?”
“Iya, nggak apa-apa kok!” Cewek itu tersenyum maniiisss sekali. “Aku Fiana,” lanjutnya, “aku kelas XI IPA 1. Udah dulu ya, aku ditunggu temenku nih, kak. Bye...”
“Eh, aku Ditya anak kelas XII IPA 3! Oke. Bye..” Ditya melambaikan tangannya sekilas, tidak lupa memasang senyum manis di wajahnya. “Fiana, XI IPA 1. Fiana, XI IPA 1...” gumam Ditya seperti kaset rusak.
* * *
Garis tipis berbentuk bulat tak sempurna, yang membentuk gambaran sebuah benda langit penerang kepekatan malam hari mulai terlihat. Fiana segera membereskan alat-alat praktikum yang masih berserakan di meja praktikum laboratorium biologi itu. Sedari tadi kepalanya tak henti-henti menoleh ke kanan dan ke kiri setiap satu menit. Jantungnya berdebar keras. Sekolah memang sudah sepi. Hanya tinggal dia saja murid yang masih ‘betah’ di sekolah yang katanya angker itu. Teman-teman sekelompok Fiana memang agak kejam. Mereka tega menyuruh Fiana membereskan sendiri peralatan praktikum, sementara mereka pulang. Tapi Fiana juga hayuk-hayuk aja. Setelah semua peralatan dimasukkan ke dalam etalase kaca, Fiana segera mematikan AC yang sedari tadi membuatnya semakin merinding. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Fiana keluar dari laboratorium itu dan dengan terburu-buru mengunci pintu laboratorium. Dengan langkah tergesa dan perasaan waswas, Fiana berjalan menuruni anak tangga dan menyusuri koridor yang hanya diterangi lampu neon kuning yang remang-remang. Saat berjalan menyeberangi halaman sekolah, sayup-sayup terdengar suara gamelan memainkan tembang Jawa, dari arah aula yang terletak di lantai dua. Awalnya ia biasa saja, namun tiba-tiba hati Fiana mencelos mengingat bahwa hari itu tidak ada ekskul gamelan. Bulu kuduk Fiana otomatis langsung meremang. Langkahnya yang sudah cepat, makin lama berubah menjadi larian. Dengan nafas ngos-ngosan, tubuh terbungkuk, tangan di lutut menyangga tubuh, Fiana berhenti di depan pos satpam.
“Lho? Mbak Fiana kenapa? Kok kayak habis lari estafet lomba tujuh belasan? Hehehe,” goda Pak Puji, satpam sekolah itu, yang memang sudah akrab dengan Fiana.
“Hhhh... Hhhh... Nggak apa-apa.... hhhh...Pak ...hhh.. Puji... Ini kunci... hhhh... lab biologi....” kata Fiana terengah-engah kehabisan nafas, sambil menyerahkan kunci laboratorium bilogi dengan tangannya yang gemetar.
“Oh. Iya, Mbak. Besok pagi saya kasih ke guru piket. Mbak Fiana beneran ndak apa-apa to?”
Fiana mengatur nafasnya. “Saya nggak apa-apa, Pak. Cuma takut pulangnya kemalaman. Jadi tadi saya lari-lari,” dusta Fiana. Ia tidak ingin membuat satpam itu khawatir.
“Oalaaahhh.... Yo wis, sekarang Mbak Fiana pulang saja. Hati-hati ya, Mbak!”
* * *
“Bi, kamu tahu tentang cerita-cerita misteri sekolah kita ini nggak?” tanya Fiana pada Bias, sahabatnya.
“Memang kenapa, kok tiba-tiba kamu tanya begitu?” tanya Bias dengan kedua alis terangkat tinggi. Bukan ekspresi yang tepat untuk menyatakan keheranan. Anak satu ini memang aneh. Ekspresi sama ucapan sering tidak sinkron.
Fiana pun menceritakan pengalamannya kemarin sore-menjelang-malam. Selesai bercerita, Fiana menatap Bias dengan tatapan gimana-tau-cerita-itu-nggak-?
“Hohohohoho... Aku pernah denger cerita itu. Cerita tentang gamelan yang bunyi sendiri setiap sore-menjelang-malam itu udah ada sejak duluuuu banget. Katanya sih para pemain gamelan itu guru-guru sekolah ini dulu. Dua tahun yang lalu, ada siswa sekolah ini yang nekat menyelidiki kebenaran rumor itu. Dan dia beneran bisa lihat hantu-hantu itu!” Bias menceritakan dengan suara mendesah sok horor. Fiana bukannya takut denger cerita Bias, tapi malah geleng-geleng kepala melihat sahabatnya satu itu. Lagi cerita horor dengan suara yang cukup menakutkan, tapi jari telunjuk tangan kanannya malah sibuk uthik-uthik upil!
“Bi, tadi kamu bilang, ‘hantu-hantu itu’? Berarti hantunya nggak cuma satu dong?”
Bias mengangguk-angguk. “Fiana,” katanya, “untuk memainkan satu set gamelan kan membutuhkan banyak orang. Jadi nggak heran deh kalau hantunya ada banyak. Katanya, hantunya itu pakai surjan dan kebaya. Kedengarannya memang aneh atau bahkan lucu, tapi kalau kamu lihat mukanya, hiiiiiyyyy!! Serem banget!”
“Memangnya kamu pernah lihat, Bi?” tanya Fiana heran.
“Belum. Hehehehe,” jawab Bias sambil nyengir.
“Yeeee... Kirain udah pernah!” kata Fiana sambil menoyor kepala Bias.
“Wadoww. Tega kamu. Aku tuh dikasih tahu sama kakakku. Katanya, mukanya serem banget. Pucat tanpa rona kehidupan, pandangan mata menerawang, dan ada bekas luka bakar, juga darah, di wajah dan tangan mereka. Kamu tahu kenapa? Karena sebagian sekolah ini dulu pernah mengalami kebakaran. Jadi, saat acara tutup tahun, kira-kira 30 tahun yang lalu, sekolah mengadakan pagelaran seni, di pagelaran seni itu, para guru menunjukkan kebolehan mereka bermain gamelan. Saat para guru itu sedang bermain gamelan, tiba-tiba panggung terbakar. Para guru itu nggak sempat menyelamatkan diri, jadi mereka terbakar mengenaskan. Sampai sekarang, belum diketahui pasti apa penyebab kebakaran itu.”
Kali ini Fiana benar-benar merinding. Padahal Bias menceritakannya dengan suara yang biasa-biasa saja. Nggak mendesah sok horor kayak tadi.
“Oh iya, Fi. Kamu tahu? Anak nekat yang aku ceritain tadi, masih inget kan?”
Fiana mengangguk.
“Dia akhirnya jadi gila, Fi. Gara-gara, dia nggak bisa mengontrol rasa takutnya. Kasihan ya?”
“Fiana, kamu dicari kakak kelas tuh! Namanya Dipa atau Ditya atau siapaaaa gitu!” kata Genta, salah seorang teman cowok Fiana di kelas itu.
“Oh. Kak Ditya. Makasih, ya, Ta.”
Genta mengangguk lucu, lalu pergi keluar kelas.
“Bi, aku keluar dulu ya!” pamit Fiana pada Bias.
“He’eh. Eh, tapi Kak Ditya tuh siap sih, Fi? Fianaaaa....”
Fiana melenggang keluar kelas meninggalkan Bias yang dongkol karena pertanyaannya diabaikan.
* * *
Sore itu, kembali Fiana harus tinggal di sekolah lebih lama. Kali ini karena ia harus menyelesaikan praktikum fisika yang laporannya harus dikumpulkan besok. Praktikum fisika ini sebenarnya dilakukan berpasangan, namun, Reno, partner Fiana tidak bisa menemaninya karena ada acara penting dan harus cepat-cepat pulang. Karena bekerja sendirian, maka Fiana membutuhkan waktu lebih lama. Alhasil, saat waktu menunjukkan pukul 17.45, Fiana baru bisa menyelesaikan semuanya. Setelah yakin akan percobaannya, ia membereskan peralatan-peralatan praktikum. Perasaan Fiana sangat tidak tenang selama berada di laboratorium fisika. Bawaannya deg-degan dan merinding terus.
PRAANGG!! Empat buah tabung reaksi pecah karena saat mau memasukkan tabung-tabung itu ke dalam etalase kaca, tangan Fiana gemetar. Fiana panik. Dia ingin cepat-cepat pulang karena hari sudah semakin gelap, namun ia tidak bisa lepas dari tanggung jawab membereskan pecahan kaca yang berserakan ke mana-mana. Akhirnya, dengan perasaan waswas dan pikiran yang terus tertuju pada cerita Bias mengenai gamelan di aula, Fiana mengambil sapu dan mulai menyapu pecahan-pecahan kaca. Dinginnya AC membuat bulu kuduk Fiana semakin meremang. Ia mempercepat proses pembersihan pecahan kaca karena sudah tidak tahan dengan hawa yang tidak menyenangkan itu. Setelah memasukkan pecahan kaca ke dalam tempat sampah, Fiana segera membereskan buku-bukunya. Dengan terburu-buru, ia mengecek semuanya, lalu setengah berlari keluar laboratorium. Klik.. klik... Pintu laboratorium sudah terkunci.
Fiana melangkahkan kaki dengan tergesa meninggalkan lantai tiga, lantai di mana laboratorium fisika berada. Namun, terlambat. Ternyata Fiana kurang cepat. Sesampainya di lantai dua, sudah terdengar bunyi gamelan memainkan tembang Jawa seperti tempo hari. Fiana ingin menjerit, namun rasanya tenggorokannya tersumbat. Ia pun memutuskan untuk berlari... berlari... berlari.... meninggalkan lantai dua itu. Fiana tidak peduli akan apapun juga, yang penting ia segera pergi dari lantai dua itu.
GUBRAKK!
Comments
Post a Comment