Melepaskan

Dalam dua hari berturut-turut, ia akhirnya melepaskan dua rasa terkuat yang sudah bertahan di hatinya cukup lama. Menyakitkan, namun setidaknya ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya dan memendam rasa yang justru akan bertumbuh apabila terus didiamkan.

                Lepasnya satu rasa. Rasa yang sudah berhasil bertahan selama lima tahun.
Malam itu, senja baru saja berakhir. Sebuah surat di tangan kanannya, matanya menekuni kata demi kata, meresapi setiap makna yang tertulis. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan surat tersebut berkaitan dengan dirinya. Hanya saja, ada namanya tertulis di sana. Hanya sekedar angin lalu. Pelepasan rasa itu justru terjadi ketika seseorang di sebelahnya menceritakan banyak hal mengenai sosok yang sudah dicintainya selama sekian tahun. Entah orang tersebut sadar atau tidak, orang itu berhasil menohok hatinya dengan sebuah cerita. Ia menemukan suatu rahasia yang selama ini dicarinya. Pertanyaannya selama bertahun-tahun akhirnya menemukan sebuah jawab. Sosok itu, mencintai sosok lain selama bertahun pula. Haha. Ia pun hanya mengangguk-angguk paham mendengar cerita orang itu, sementara ada bagian dari hatinya yang terasa aneh. Ia pun berkata pada dirinya sendiri, berjanji, sejak saat itu, ia benar-benar melepaskan sosok itu dari harapnya. Ia hanya akan selalu berdoa yang terbaik untuk sosok itu. Apa pun yang terjadi, ia hanya ingin sosok itu segera menemukan mimpinya.

Hari berikutnya, entah apa yang ada di benaknya, ia sungguh ingin melepaskan rasa keduanya. Sosok yang berbeda, namun sejenis. Belum lama rasa itu muncul, namun terasa begitu dalam dan meninggalkan bekas yang sama dengan sosok lima tahun itu. Atau bahkan lebih dalam?
Dengan segala kenekatan dan setelah sedikit mematikan hatinya, ia pun memulai usahanya. Awalnya, ia menyapa sosok kedua itu melalui dunia maya, karena memang hanya itu yang bisa ia lakukan. Sosok kedua itu ada di tempat yang cukup jauh darinya. Biasanya, kalau ia menyapa sosok kedua itu, responnya hanyalah sepatah-dua patah kata yang cukup dingin dan membuat nyali ciut. Namun pagi itu, semesta seolah mengingatkannya untuk jangan meneruskan niatnya untuk melepaskan rasanya pada sosok kedua itu. Sosok kedua itu, pagi itu, menyambut dengan hangat sapaannya. Hatinya pun kembali luluh dan hidup. Salah. Itu permulaan yang salah. Beberapa menit setelah percakapan yang menyenangkan, sosok kedua itu pamit undur diri karena akan pergi ke pulau lain untuk sebuah acara. Setelah sosok kedua itu tidak lagi muncul di sosial media penghubung mereka berdua, ia mengirim sebuah pesan bahwa ia akan membicarakan suatu hal penting pada sosok kedua itu apabila ada waktu luang.
Ia pikir, ia harus menunggu lama. Sayangnya, di siang hari, sosok kedua itu mengatakan bahwa ada waktu luang untuk berbicara. Masih melalui dunia maya, ia mengawali pelepasan rasa itu dengan sebuah pertanyaan yang malah didebat oleh sosok kedua itu. Hingga akhirnya ia menyatakan semuanya. Tangannya bergetar, jantungya berdegup tak tahu diri setiap kali menunggu balasan dari sosok kedua itu. Suasana semakin tidak nyaman karena koneksi internet yang kurang stabil. Berbagai pemikiran beterbangan.

Dan sosok kedua itu pun menanggapi pernyataan itu dengan empat kata sederhana. Singkat. Akhir.

Setelah itu, tidak ada lagi respon dari sosok kedua itu.

Pintunya sudah benar-benar ditutup, meskipun ia masih berusaha mencari peruntungan melalui sebuah celah kecil. Tidak ada jalan. Sosok kedua itu sudah pergi.

Dalam dua hari berturut-turut, ia benar-benar melepaskan semuanya. Satu alasan kuat ditanamkan dalam benaknya: Aku tidak ingin berhenti pada satu titik, mengharapkan suatu hal dari sosok itu. Sementara sosok itu terus berjalan maju meraih mimpinya. Aku juga harus bergerak maju untuk mimpiku. Dan caranya adalah dengan melepaskan mereka, dengan mengungkapkannya, dengan menemukan jawaban.

Untuk kedua sosok itu, ia ingin mengucapkan terima kasih yang luar biasa karena sudah menjadi inspirasi besar selama ini. Ia tidak masalah apabila hubungan di antaranya dan dua sosok itu harus berubah. Itu konsekuensi yang harus ia terima karena keberaniannya, kan? Satu hal penting yang sudah ia capai: Aku tidak akan lagi merebut pilihan Tuhan. Karena menyukai sosok seperti itu saja sudah sebuah bentuk ‘perampasan’ milikNya. Ia sadar itu. Ia tidak ingin menyedihkan hati Tuhan lebih dalam lagi.
                                                    



21:15, 4 Oktober 2015

(Agatha Elma Febiyaska) 

Comments

Popular Posts