Summary

Ia tidak pernah menyangka bahwa pertemuan singkat itu berhasil menciptakan suatu bab baru dalam hidupnya. Bahkan, tokoh utama yang selalu muncul pada ratusan bab sebelumnya, mulai menghilang dan digantikan dengan tokoh utama yang baru.

Pada hari-hari awal pertemuan, semua berjalan biasa saja. Cenderung membosankan dan melelahkan. Sempat terpikir olehnya untuk mundur dan tidak lagi melanjutkan apa yang menjadi tugasnya. Tugas yang mempertemukannya dengan tokoh utama yang baru itu.

Tiga hari menjelang tugasnya usai, ia harus pergi selama sepekan. Pergi berlibur. Ia tahu itu bodoh dan tidak bertanggungjawab. Tetapi ia sudah terlanjur janji dengan kakaknya untuk berkunjung ke kota kembang tersebut. Ia pun menyerahkan tiga hari terakhir itu pada sahabatnya. Dan dalam tujuh hari di kota yang berbeda, ia selalu merasa tidak sepenuhnya menikmati liburan yang sebenarnya menyenangkan itu karena ia merasa bersalah meninggalkan sosok itu di hari-hari terakhirnya di kota tempat lahirnya sebelum akhirnya sosok itu akan terbang ke bagian timur negeri indah ini. Semakin ke sini, ia tahu bahwa itu bukanlah sekedar rasa bersalah karena ia lepas tanggung jawab. Namun itu rasa kehilangan. Perpisahan terasa menyakitkan. Di dalam bab-bab terdahulu, perpisahan dengan tokoh utama yang sebelumnya, memang terasa pahit namun tidak sesakit kali ini.

Ia tahu bahwa ia telah menjatuhkan hatinya.

Pada sosok yang salah.

Lagi.

Pun begitu, ia tetap menikmati proses tersebut. Proses yang menjadi semakin menyakitkan menjelang perpisahan dengan sosok itu.

Sepulang dari liburan itu, ia mendapatkan sebuah kesempatan untuk berjumpa dengan sosok itu. Di sana, ia merasa semua sudah berubah. Ke mana rasa ‘biasa saja’ yang dulu ada ketika ia berinteraksi dengan sosok itu?

Lalu dua hari menjelang keberangkatannya, ia berencana untuk mengajak sosok itu bertemu dan menghabiskan sedikit waktu bersama. Sayangnya, Tuhan mulai menegurnya untuk tidak membiarkan rasa itu tumbuh subur dalam hatinya.

Sehari menjelang keberangkatannya, ia bertemu dengan sosok itu meskipun awalnya ia enggan karena rasa takut tertolak.

Senyum dan tawa palsu bercampur dengan obrolan basa-basi menghiasi lima belas menit pertemuan mereka di ruang tamu sederhana itu. Dan saat itu, hatinya kembali terasa sakit karena ia mendapati benteng kokoh yang sedang dibangun oleh sosok itu. Ya, sepertinya Tuhan kembali mengajaknya untuk mundur perlahan.

Beberapa jam setelah perpisahan itu, di hadapan sahabatnya, ia menangis. Tangis yang menyakitkan, yang berlangsung tak cukup semenit dua menit. Tangis kekecewaan, kesedihan, dan kekalahan.

Setelahnya, ia berusaha untuk menghapuskan sosok itu sebagai tokoh utama dalam bab yang baru saja mulai ditulisnya.

Ya, usaha itu gagal.

Seberapapun kerasnya benteng yang dibangun sosok itu, ia masih mencoba untuk tidak peduli dan terus berusaha untuk mendorongnya.

Sampai sekarang.

Sampai entah kapan.





22:00, August 25th 2015
(Agatha Elma Febiyaska)




Comments

Post a Comment

Popular Posts