Ego

Kemarin siang, aku dan kelima sahabatku pergi ke Pantai Ngobaran. Sebenarnya aku kurang suka pergi ke pantai di akhir pekan karena pasti akan banyak orang di sana. Namun karena mumpung kami bisa berkumpul dan dolan bareng, akhirnya aku pun meluangkan waktu.

Namun, ada suatu kejadian yang membuatku terus kepikiran dan merasa bersalah.

Jadi, kemarin sebelum berangkat ke rumah Mona untuk berkumpul—sebelum akhirnya berangkat ke pantai naik mobilnya Candra—aku minta sangu ke Ibuk (atau yang biasa aku panggil Nda atau Mamah) dan yang terjadi adalah seperti berikut:

“Mah, minta uang buat sangu sama buat urunan bensin.”

“Wah, kamu tuh bener-bener udah boros banget pengeluarannya bulan ini,” jawab Ibuk, lalu meninggalkan aku.

Aku pun hanya terdiam. Aku menyadari betul bahwa bulan ini aku memang sudah banyak sekali meminta uang ke Ibuk untuk keperluan ini-itu, baik untuk memenuhi kebutuhan yang hedon maupun yang benar-benar penting.

Aku tidak beranjak dari dudukku di ranjang. Aku merebahkan tubuhku sembari BBM-an dengan Anggi, mengatakan kalau aku mungkin tidak jadi ikut ke pantai dengan alasan sepertinya Ibuk tidak akan memberiku sangu. Anggi berusaha untuk membujukku tetap ikut, bahkan dia menawarkan untuk menambahi uangku kalau misal aku hanya diberi sedikit uang oleh Ibuk. Tapi aku bilang kalau aku tidak mau. Aku tidak mau merepotkan dia.

Aku berbaring, bermain HP, dan berpikir. Aku memikirkan kegiatan alternatif yang akan kulakukan kalau Ibuk tidak memberiku sangu untuk ke pantai. Aku berencana untuk mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk di sebuah gerai donat, which means aku tetap harus minta uang ke Ibuk meskipun nggak sebanyak sangu untuk dolan.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit.

Ibuk menghampiriku,”Lho kok belom jadi berangkat? Katanya jam 12 kumpul?”

“Lha belom dikasih sangu, kok.”

“Halah, ngambek. Biasanya kan swalayan—ngambil sendiri di dompet. Sana cepet berangkat.”

Aku masih diam karena kaget. Tadi padahal Ibuk nampak marah ketika menegurku yang sudah boros sekali di bulan ini. Eh, ini kok malah kayak gini. Aku merasa senang karena aku bisa tetap ke pantai, tapi sekaligus juga merasa bersalah.

Sebenarnya aku bisa saja tidak ikut sahabat-sahabatku ke pantai dan memilih untuk mengerjakan tugas, yang tentunya lebih berguna. Tapi selalu saja, niatku untuk mengerjakan tugas, bahkan kuliah, selalu terkalahkan dengan dolan atau nongkrong cantik. Aku selalu ingin bersenang-senang dan berboros-ria.

Ya memang, sejauh ini aku masih bisa menjaga nilai-nilaiku di kampus. Tapi sepertinya apa yang aku lakukan dengan uang yang kuhamburkan itu tidak setara dengan apa yang berhasil aku raih di kampus. Mungkin aku memiliki nilai akademis yang cukup bagus, tapi untuk masalah menghargai, mengambil keputusan, dan memilih hal yang benar, aku masih nol.

Hampir setiap kali melakukan kesalahan, aku tahu bahwa itu salah dan aku hanya mementingkan kesenangankus sendiri. Namun aku tetap mengulanginya seakan tidak mengenal kata ‘kapok’. Aku merasa tidak ingin kesenanganku terenggut dari hidupku. Jadi, aku selalu mengusahakan untuk menyenangkan diriku.

Aku tahu itu salah.

Sungguh, aku masih banyak gagal dalam usaha mengalahkan egoku. Aku harus bagaimana?


P.S. Untuk membaca ceritaku di Pantai Ngobaran, silahkan baca di Experience Hunter



Minggu, 25 Mei 2015, 22:50

(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts