Ia dan Kenyataan
Ketika kenyataan itu memahit...
Menit demi menit sudah ia lalui dalam hening. Matanya
menerawang jauh, pikirannya terus bertanya dan menjawab, tangannya memegang
buku pink kecil yang nampak seperti diary.
Benarkah? Salahkah?
Apa yang tadi ia baca di dunia maya berhasil mengacaukan
sisa harinya. Ia sudah berusaha untuk melepas, namun seperti semesta tahu, ia
belum sepenuhnya berhasil.
Lalu apa yang bisa ia lakukan ketika sosok itu kembali
membuatnya resah? Sosok yang begitu ramah terhadap semua orang, sosok yang
nampaknya berhasil memikat kawan lamanya. Dugaan. Ia tak ingin menduga-duga,
tapi pikiran itu muncul begitu saja. Ia hanya....... belum rela.
Memang, ia belum pernah memiliki sosok itu sepenuhnya. Tapi
rasa ingin memiliki itu menyelimutinya begitu hebat, membuatnya tak ingin ‘melepaskan’
sosok itu.
Hebat! Pemikiran macam apa itu? Ia tersentak dari heningnya.
Hening yang begitu memikat pikirannya. Ia tidak boleh. Ia tidak berarti apapun
dalam kisah sosok itu. Ia tidak memiliki kesempatan untuk mengubah alur cerita
sosok yang selalu ada dalam harapnya itu. Sosok itu tetaplah seperti hembusan
angin baginya. Dapat ia ketahui kehadirannya, namun tak tersentuh. Dapat ia
nikmati sejuk senyumnya, namun tak termiliki.
Biarlah sosok itu semakin dekat dengan kawan lamanya yang
jauh lebih banyak mengerti tentang kisah –kisah terdahulu, sebelum ia hadir
dalam kisah sosok itu. Biarkan saja...
Ia membulatkan tekad untuk membiarkan kenyataan itu terjadi.
Namun rasa perih itu tak pernah pulih, pun saat ia mencoba untuk tersenyum.
Malah semakin parah.
Comments
Post a Comment