Kamu dalam Doaku


Hidupku, 24 November 2012

Pagi pukul 07.30 ketika aku keluar dari sarangku untuk rapat divisi acara Dies Natalis kampus di kamar kost temanku, mentari bersinar begitu menyenangkan, membuat senyumku mengembang sempurna karena cuaca seperti itulah yang kutunggu untuk menjalankan misi nekatku bersama sahabatku, Anggi.

Kamis malam, tiba-tiba aku ingin mengunjungi dan berdoa di Gereja Candi Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran, Bantul. Aku langsung mengirim pesan singkat ke 5 sahabatku dan Anggi yang langsung menjawab, “Ayo!” Maka aku pun mengajaknya untuk ke Ganjuran hari Sabtu (hari ini) setelah ia selesai kuliah pukul 12.00.

Sepulang dari rapat di kost temanku, cuaca masih hangat menyenangkan. Tuhan merestuiku untuk ke sana! pikirku. Aku semakin bersemangat menanti pukul 12.00 di mana Anggi akan segera meluncur ke rumahku setelah selesai kuliah umum.

Sekitar pukul 11.50, langit menggelap. Aku sudah cemas kalau-kalau hujan turun, pasti rencana kami akan gagal. Betul saja, hujan turun cukup deras. Lucky me, hanya beberapa menit kemudian, hujan mulai reda, namun masih tersisa gerimis yang bisa menyebabkan pening. Aku langsung memastikan apakah rencana akan terus berjalan atau tidak dan ternyata Anggi meyakinkan aku untuk terus menjalankan rencana kami.

Akhirnya berangkatlah kami. Sebelumnya, kami mampir makan siang terlebih dulu sembari menunggu hujan lebih reda lagi. Berhasil. Selesai makan, hujan sudah berhenti dan kami pun memulai petualangan menuju Ganjuran.

Sebenarnya aku sudah beberapa kali ke Ganjuran, bahkan terakhir kali aku ke sana baru September kemarin. Tapi karena setiap kali ke sana aku bersama keluarga atau rombongan, maka aku tidak pernah memerhatikan jalan yang dilalui untuk mencapai Ganjuran. Berbekal petunjuk sederhana dari Ayah mengenai jalan awal dari rumah menuju Jokteng (Pojok Beteng) Kulon dilanjutkan jalan lurus terus, kami pun optimis akan sampai dengan bahagia di Ganjuran.

Jalan rasanya tak habis-habis. Apalagi ketika hujan mulai membasahi jaket kami. Kami menolak menggunakan mantol karena perjalanan terasa lebih menyenangkan dalam keadaan kehujanan seperti itu.
               
Keraguan kami semakin memuncak ketika kami tidak dapat menemukan plang yang menunjukkan gang masuk ke jalan yang dipagari pohon cemara yang seragam. Kami pun berbalik arah dan memutuskan untuk bertanya pada tukang becak. Ternyata kami sudah mengambil jalan yang benar tadi, hanya kurang satu lampu merah lagi yang harus kami lewati. Dan kami pun kembali ke arah semula.

Menemukan plang bertuliskan RS. Santa Elisabeth, aku pun bersorak karena merasa berhasil. Kami menyusuri jalan dengan pohon cemara berjajar rapi di kanan-kiri.

Setibanya di Ganjuran, kami pun menaruh tas dan melepas sepatu di dekat gamelan di sebelah Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Setelah menyalakan lilin, kami mengambil kursi dan berdoa dalam cara yang berbeda, namun hening dan tekun yang sama. Setelah itu, kami pun membasuh wajah-tangan-kaki di keran yang ada di sisi kiri Candi, lalu kami mengantri untuk masuk ke dalam Candi.

Aku ingat betul, terakhir kali aku ke sana untuk berdoa secara khusus itu sekitar bulan April menjelang UN. Aku memaksa Ayah untuk mengantarkanku berdoa di sana. Akhirnya, sekitar pukul 6 sore, aku, Ayah, Nda, dan Saka pergi ke sana. Sebenarnya, untuk masalah UN aku tak terlalu khawatir, namun aku tetap memohonkan berkat untuk kelancaran UN-ku tentunya. Di samping itu, aku ingat, sangat ingat, aku  sedang mengalami kebingungan, keraguan, ketakutan, dan kekalutan akan perasaanku. Aku menyebut namamu dalam rapalan doaku. Tak hanya sekali-dua kali. Begitu pun yang terjadi tadi sore ketika aku kembali ke sana untuk berdoa secara khusus. Namamu masih ada dalam rapalan doaku. Masih. Selalu.


Biarkan menjadi seperti ini
Aku sedang mencoba
Tidak ada yang mudah awalnya,
namun aku yakin, suatu saat
aku pasti bisa :’) 

Comments

Popular Posts