Celebrating 30 With Myself

Sepertinya sudah menjadi sebuah kebiasaan bagiku sejak dulu untuk merayakan ulang tahun. Ketika masih kecil, kerap aku merayakannya bersama dengan Kakakku—ketika kami masih tinggal bersama atau ada kesempatan untuk bersama, di Jogja atau Jakarta. Pesta kecil, dengan tart dan tumpeng. Kado dari tetangga dan keluarga. 

Bahkan hingga tahun lalu, ketika aku merayakan 29 tahunku menjalani hidup ini, aku masih merayakannya dengan membawakan makanan untuk teman-teman kantor, masih dikirimi makanan oleh teman-teman, masih makan bersama keluargaku. Sebelum pandemi, aku bahkan mengadakan pesta ulang tahun dengan teman-teman dekatku; makan, foto, bercanda. Merayakan. Selalu ada perayaan. 

Aku pun suka merayakannya dengan rutin di media sosial, dengan repost ucapan dari teman-teman dan keluarga dan membuat post di feed

Karena kebiasaan itu, hari ulang tahun selalu menjadi hari yang kunanti-nanti. Bahkan sampai beberapa tahun lalu, aku masih suka melek sampai tengah malam, menunggu siapa yang akan mengucapkan pertama kali. 

Di hari ulang tahunku, aku menjadi sangat diingatkan bahwa masih ada, bahkan banyak, orang yang mengingatku, menyadari hadirku, dan menyayangiku. Ini hal yang aku perlukan supaya aku tidak merasa sendirian dan ditinggalkan, apalagi semakin ke sini, ketika aku semakin menyadari bahwa orang-orang terdekatku punya kehidupan dan prioritas yang berbeda. Ini hal yang penting untukku, karena aku masih suka merasa bahwa aku kurang baik dan care dengan orang-orang sekitarku, sehingga aku takut kalau tidak disukai. 

Pemikiran yang aneh, ya? Pemikiran yang sempit, kah? Pemikiran yang menyedihkan, kan? 

Bebas mau dikategorikan sebagai pemikiran apa, tapi itu pemikiranku. Aku yang terlihat galak dan apa-apa bisa sendiri ini sebenernya, deep down, punya banyak ketakutan. Contohnya seperti di atas. 

*

Ada perdebatan dalam diriku, di mana aku merasa bahwa di masa ketika sebagian besar orang sudah punya prioritas dan kehidupan yang berbeda, aku tidak bisa terlalu menggantungkan hidupku dan perasaanku pada mereka lagi. Pada kehadiran dan pemberian mereka. Hanya ada aku. Aku bisa mendapatkan bahagiaku, aku bisa mendapatkan berkatku, aku bisa mendapatkan ceritaku. Sendirian. 

Di lain sisi, aku merasa bahwa meskipun dulu aku merasa bahwa apa-apa bisa kulakukan dan kudapatkan sendiri, setelah aku mengorek memoriku yang terbatas ini, aku menemukan terlalu banyak momen di mana aku merasa bahagia dan penuh syukur ketika bersama, ketika berbagi, ketika tidak sendiri. Kemudian ini mengingatkanku pada paragraf awal tulisan ini. 

Berangkat dari kebingungan apakah sebenarnya aku lebih bahagia ketika sendirian atau bersama, akhirnya di November 2023 lalu, aku mulai merencanakan perayaan ulang tahun yang berbeda. Aku ingin sendirian. Aku ingin mendapatkan jawaban dari kondisi yang berbeda dari biasa. 

Tuhan pun mendengar hatiku dan melihat niatku, jadi berbekal cuti dan rentetan libur nasional yang berdekatan dengan ulang tahunku yang jatuh di hari Minggu tahun ini, aku pun memulai perayaanku. 

*

04022024

Diawali dengan bangun pagi tanpa chat atau mention di media sosial, ucapan ulang tahunku adalah dari dunia nyataku. Dari Ayah. Ketika itu, Ibuk sedang berlibur menemui anak sulung dan cucunya. 

Dilanjutkan dengan perjalanan menuju stasiun diantar Ayah, ditemani obrolan yang hanya bisa tercipta dengannya setiap kali kami menempuh suatu perjalanan, ucapan dari orang-orang terdekat mulai bermunculan. 

Sembari menunggu keretaku datang di jam 08.11, aku mendapatkan ucapan dan berkat dari mereka. Berlanjut di dalam kereta, di tengah-tengah menonton variety show Korea favoritku, aku melihat pemandangan indah di luar jendela dan tiba-tiba rasa haru muncul. Entah persisnya kenapa, namun aku ingin menangis, meskipun tentunya tidak terjadi karena tidak semudah itu membuatku menangis.

Keretaku lanjut berjalan menuju ke kota yang sebenarnya belum lama aku datangi beberapa waktu lalu, namun aku punya alasan untuk kembali: Bandung. 

Ketika sampai di stasiun yang mulai terasa familiar, langit mendung menyambutku. Supaya semakin lengkap tema sendunya, aku membeli segelas iced americano extra ice, no sugar, sebelum mendapatkan ojek online menuju ke apartemen yang sudah kusewa. Memegang istilah “familiarity is the key”, itu adalah apartemen sama yang kusewa bersama temanku ketika kami mengunjungi Bandung sebelumnya. Aku memilih tempat ini karena aku sudah berencana bahwa aku akan menghabiskan 6 hariku (atau sebenarnya full hanya 5 hari) dengan bersantai dan slow living. Walau tinggal di Jogja pun sudah dianggap slow living, tapi sebenarnya ternyata yang aku butuhkan adalah detaching myself from routines; to think, to evaluate, to reflect, to find. 

*

Benar kok, selama di sana, aku keluar apartemen di atas jam 10.00 dan sudah kembali di jam 17.00. Bahkan lebih singkat daripada waktu kerjaku. Yang tidak benar adalah kenyataan bahwa aku tetap harus bersinggungan dengan pekerjaan selama di sana. Aku sungguh berusaha untuk tidak bersinggungan, tapi pekerjaan tidak rela melepaskanku sepenuhnya. 

Anyway, di sana aku ke mana-mana naik ojek online dan berjalan kaki. Walaupun aku sudah membuat list tempat yang ingin aku kunjungi, pada akhirnya hanya beberapa yang ter-contreng karena aku tidak ingin ngoyo. 

Selama berjalan sendirian itu, setiap kali aku duduk menunggu makanan, menghabiskan orderan, atau menunggu perutku hingga tidak kekenyangan, banyak pikiran bermunculan dan satu yang jadi headline

AKU TIDAK BISA SENDIRIAN (LAGI). 

*

Kalau diingat-ingat, sebenarnya ini bukan kali pertama aku berjalan sendirian mengeksplor suatu kota. Aku pernah seharian sendirian di Seoul, pernah juga berkali-kali di Jakarta. Jadi, ini adalah kali ke sekian. 

Karena sebelumnya aku merasa baik-baik saja ketika berjalan sendirian dari pagi hingga malam, bahkan ketika terakhir kali aku melakukannya di Jakarta baru lima bulan lalu, jadinya aku percaya diri saja bahwa berjalan sendirian di Bandung pun bukan masalah yang susah.

Hingga aku mengalami dua kondisi berbeda selama di sana; ketika aku berjalan-jalan sendirian dan ketika aku meet up dengan seorang teman atau ketika ditemani. 

Waktu aku sendirian, aku merasa bingung dan tidak terlalu berminat untuk mencoba atau melakukan ini-itu. Tidak se-excited jika ada yang membersamaiku. Aku iri melihat orang-orang yang datang dengan teman-temannya, bisa bercerita, berfoto, dan melakukan kegiatan bersama. Hiburanku ketika itu adalah dengan mencari orang yang berjalan sendirian sepertiku, lalu berkata pada diriku, “Tuh, ada kok, orang yang sendirian juga. Nggak papa.” Aku juga melihat orang-orang yang sendirian itu sebagai aku di masa lalu yang enjoy spending time alone for a long time. 

Aku bener-bener merasa bahwa I need a companion. At least to stare blankly together. Nggak harus ngobrol terus, tapi setidaknya aku nggak sendirian.

Ya aku masih bisa aja spend time alone, tapi udah bukan buat waktu yang lama. 

Ketika aku bertemu dengan salah seorang teman di satu hari dan ada yang menemani di beberapa waktu, aku bisa merasakan lebih senang karena aku bisa berbagi apa yang aku rasakan dan pikirkan. Aku bisa melakukan hal-hal yang tidak perlu banyak bicara, namun setidaknya bersama. Menyenangkan. 

*

Kurasa, ini adalah salah satu perubahan besar dalam diriku. NAMUN, masih ada sisi di mana aku merasa bahwa aku tidak boleh terlalu attached dengan kebersamaan karena most of the time dalam hidupku ke depannya, aku akan kembali banyak menjalani hidupku sendirian. Jadilah aku menikmati kebersamaan to the fullest, mengibaratkannya sebagai momen untukku recharge special energy. Untuk bekal beberapa waktu ke depan. 

Kehadiran orang-orang ternyata bisa memberiku energi yang baik, karena sehari-hari aku sudah banyak bergelut dan bergumul sendirian. 

Kalau aku ingin serakah dan egois, aku ingin meminta waktu mereka se-banyak yang kubutuhkan, namun dengan susah payah, aku mengingatkan diriku bahwa mereka juga punya hidupnya sendiri; di mana aku bukan bagian penting yang bisa atau sulit untuk diberikan waktu mereka yang berharga. Mereka pasti juga lelah dengan rutinitas dan ingin memiliki waktu sendirian atau bersama dengan orang prioritas mereka. Aku harus bisa meng-yaudah gapapa-kan jika mereka tidak bisa bersamaku. Akan ada waktu mereka yang akan diberikan untukku. Aku percaya saja itu. Meskipun entah kapan. 

*

Sejauh ini, aku sebenarnya masih tidak yakin bahwa aku menulis dengan baik karena lagi-lagi, aku hanya menuliskan apa yang ada di kepala dan hatiku, sebelum semua lenyap oleh terbatasnya memoriku.

Jadi, intinya adalah aku memerlukan kehadiran orang lain, tanpa menggantungkan bahagiaku pada mereka. Jika mereka hadir, tentunya aku bahagia, tapi jika mereka tidak hadir, setidaknya mengetahui bahwa mereka menjalani hidup mereka dengan baik dan memperhatikan diri mereka dengan bijaksana itu bisa menjadi bahagiaku. Aku bisa menentukan bahagiaku dalam bentuk apapun

Aku juga tidak selamanya bisa ada dan hadir untuk orang-orang tersayangku karena satu dan lain hal, jadi ya aku tidak bisa protes jika mereka tidak bisa hadir untukku karena beragam kondisi. Ada cara lain yang mengingatkanku bahwa mereka selalu ada dan tidak meninggalkanku, yaitu dengan koneksi dan komunikasi yang tetap bisa mengalir dan excitement untuk tiba-tiba bertemu di waktu yang tidak terjadwal. Untuk mereka, aku juga akan berusaha menjadi tempat yang nyaman untuk kembali setiap kali mereka memerlukan tempat untuk bercerita, berbagi bahagia, kebingungan, atau tangisan. Untuk mereka, aku juga akan excited kalau tiba-tiba ada waktu kosong untuk bertemu. 

Di masa-masa ketika aku harus berjalan sendirian, setidaknya aku punya memori percakapan dan kenangan dengan mereka, yang bisa kujadikan energi untuk menjalani hari. Aku nggak pernah benar-benar sendirian. 

Terima kasih, kalian. 


P.S.: Sebenarnya trip itu juga aku tidak sepenuhnya sendirian. 


- el

Comments

Popular Posts