(25) Dua Lima – Aku Berbeda #refELection




Iya lah, beda. Kan setiap orang juga beda, nggak ada yang sama. Hehehehe kalem. Nyinyir emang enak banget, sih.  Tapi di sini aku bukannya mau nyinyir. Seperti biasa, aku mau berbagi dan mengabadikan kenangan serta pikiran melalui tulisan. 

Umur udah 25, dong. Udah seperempat abad. Udah semakin masuk ke masa kritis kehidupan karena harus beralih dari kebiasaan, pemikiran, dan kehidupan yang lebih dewasa. Tidak hanya lebih tua karena tua itu sudah pasti, tapi dewasa itu pilihan, kan? Dan aku memilih untuk (belajar) menjadi dewasa. Temen-temen mungkin sudah baca di dua posts terakhirku sebelum ini. Kejadian-kejadian tahun lalu yang mengantarku ke usia sekarang ini luar biasa sekali. Tapi tidak hanya kejadian-kejadian itu, tapi ratusan peristiwa lain di tahun-tahun sebelumnya pun memiliki peran untuk aku yang sekarang.

Setiap tahunnya, aku menjadi pribadi yang berbeda. Tidak selalu baik, tapi pasti ada yang bisa dipelajari.  

Di usia ini, masih banyak hal esensial dalam hidup yang harus aku kejar dan wujudkan. Aku semakin menyadari dan menerima bahwa aku tidak bisa menyamakan diriku dengan teman-temanku.  Itu tema utama tulisan ini. Mungkin terdengar mudah atau sepele membaca ungkapan “you should not compare yourself with others because each of us has different path” which is very true. However, to agree is easier than to accept.

It’s used to be very hard for me to accept the condition that I’ve been doing no better than others. Yes, comparison is toxic, but somehow it’s so difficult not to automatically compare myself with others. I’d feel that I’ve failed my life and I’m THAT pathetic because I saw my friends moving forward, while me? I keep failing things.

But then, I turn to the other side, seeing from another point of view. Here it is:

I don’t fail all the things. This life is just not a race. It will never be. Garis start kita berbeda-beda, sebagaimana garis finish kita pun tak sama. Karenanya, adalah sebuah hal yang sebenarnya biasa ketika aku sedang duduk, sementara ada yang berjalan, ada yang berlari, dan ada yang tidur. Hidup sejatinya tidaklah seragam. 

Misal, ketika aku tidak bisa lulus di tahun yang normal, itu karena pilihanku untuk mengikuti program-program pertukaran—hal yang selalu kuimpikan dan kunyatakan, namun juga hal yang diimpikan orang lain dan tidak dinyatakan karena pilihan mereka lebih kepada penyelesaian pendidikan tepat waktu.

Lagi, ketika teman-teman sekitar, yang dekat sekali dan dekat saja, sudah mulai menghasilkan pendapatan dengan bekerja sebagai guru, pegawai kantoran, bidan, dan lain sebagainya, aku memilih jalanku untuk bekerja sebagai penulis. Pekerjaan yang kubawa sedari masa kuliah, hingga akhir September bulan lalu (ya, aku harus kehilangan pekerjaan tersebut secara mendadak). Usai dari situ, aku merasa hidupku terlalu menyedihkan karena aku tidak seperti yang lainnya. Aku harus mencoba dan berusaha ketika yang lain sudah bergerak secara teratur dengan tantangan mereka masing-masing.

Mengeluh? Sudah pasti kulakukan. Tapi lama-lama aku malu dengan diriku. Untuk apa aku terus-terusan mengeluh dan mengkhawatirkan kehidupanku ketika aku sendiri tidak berusaha maksimal untuk membuat hidupku menjadi lebih baik? Bodoh kau, Elma.

Proses penerimaan yang dibarengi dengan usaha, namun kerap terselip rasa pesimis yang tak terhindarkan, membawaku menjadi pribadi yang seperti sekarang ini.

Aku belum menjadi lebih baik. Aku masih dalam proses perbaikan.

Untuk saat ini, mulai dari awal tahun kemarin, aku sedang ingin menjadi egois untuk kesehatan jiwa dan ragaku. Memikirkan, membandingkan, menangisi, mengeluhkan, dan menjatuhkan hidupku perlahan-lahan sudah menggerogoti tubuh dan pikiranku. Tenang, tenang. Sepertinya kok ngeri, tapi tidak sebegitunya, tapi kalau tidak bisa mengelola dengan baik, rasa-rasanya akan menjadi suatu hal yang serius. Nah lho, gimana tuh.

Tapi, Puji Tuhan, aku masih diberikan kekuatan untuk terus melangkah. Seorang teman baik mengatakan, “orang kuat akan diberi tantangan yang besar” kenapa? Kenapa harus begitu? Karena Tuhan melihat bahwa orang itu mampu. Hidup itu susah; kalau tidak susah, bukan hidup namanya. Ketika dirasa tidak ada tantangan dalam hidup, berarti hidupmu sudah mulai sekarat. Puji Tuhan, lagi, bahwa Tuhan menilaiku sebagai orang yang kuat karena tantangan-tantangan yang datang beruntun membawaku semakin mengenal diriku; perlahan menemukan kembali diriku yang sempat tersesat.

Aku kehilangan berat badanku karena (ini yang banyak dipertanyakan orang-orang yang syok melihatku sekarang—oke, ‘syok’ terlalu berlebihan) setiap ada pikiran yang menyambangiku dan itu berkaitan dengan hatiku, tentang apapun itu, mendadak aku enggan makan dan hanya ingin mencekoki tubuhku dengan air dan kopi. Tidak sehat. Iya, aku tahu tubuhku sekarang ini tidaklah sehat meskipun terlihat semakin baik, semakin mendekati bentuk yang aku cita-citakan selama bertahun-tahun. Berbarengan dengan tidak sehatnya tubuhku, pikiranku pun semakin dipenuhi racun. Ekspektasi berlebih, pemikiran tak penting, kerap berpikir tentang kegagalan, dan terpikirkan hal-hal negatif lainnya—semua hal tersebut menyelimuti harapan, mimpi, dan semangatku untuk masa depan.

Perlahan-lahan, namun juga terkadang cukup ekstrem; karena aku termasuk orang yang sangat mudah terpengaruh dengan sekitar (dengan omongan, aktivitas, pencapaian, pemikiran, dan perasaan orang), maka cara yang terpikirkan untuk segera menyelamatkan jiwaku adalah dengan membakar jembatan dan membangun benteng tebal nan tinggi. Aku ingin menjadi egois. Aku ingin berfokus pada inginku, pada bahagiaku, pada butuhku. Karena ternyata diriku mulai tidak kuperhatikan sejak beberapa waktu yang lalu. Aku terlalu sibuk berfokus dengan hal-hal di luar diriku, sehingga aku membiarkan diriku terbengkalai untuk orang atau hal lain.

Kali ini aku ingin menjadi egois. Aku tidak ingin mengetahui perkembangan atau kabar orang dari dunia maya yang biasa memberikan informasi dan menuntunku pada hal-hal yang kurang pas untuk sehatnya tubuh dan pikiranku. Aku keluar dari dunia maya favoritku tersebut dan hasilnya cukup mengejutkan karena aku bisa bertahan hidup. Dan lebih kerennya, aku merasa lebih bisa mengontrol perasaan dan ekspektasiku sehingga perasaanku didominasi dua rasa: tenang/senang dan netral. Ada rasa sedih sesekali muncul, tapi tidak se-berpengaruh dulu. Ah, dengan begitupun aku jadi bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang benar peduli padaku. Aku bisa membagi kisahku dengan mereka yang benar peduli. Karena aku sudah memutuskan untuk membagi kisahku hanya pada yang pantas. Karena semakin ke sini, memilih orang untuk masuk dalam bagian krusial hidupku adalah hal penting. Konsekuensinya, ya, aku harus kehilangan beberapa orang dan harus terima prasangka ini-itu berkaitan dengan semakin tertutupnya aku.

Kali ini aku ingin menjadi egois. Aku memilih untuk tidak peduli dengan beberapa omongan dan pemikiran orang apabila itu tidak memberi nutrisi bagi jiwa dan ragaku. Tidak mudah. Sungguh, ini tidak mudah untukku yang mudah terpengaruh dan berpikir negatif ini. Sekali waktu, aku bisa terlihat tidak menghargai, terlalu cuek, terlalu pemilih, terlalu ketus, atau apapun. Itu karena aku terbiasa untuk straightforward and honest about many things.

Detoks. Detoks. Detoks.

Aku ingin meminta maaf untuk kalian yang merasakan ketidakenakan proses pembelajaran dan penerimaanku. Tapi, sekali lagi aku ingin menjadi egois dengan mengatakan: ini jalanku. Jalan kita berbeda, kan?

Namun, aku ingin berterimakasih untuk kalian yang memahami dan tidak pergi. Aku berterimakasih walaupun tidak berinteraksi secara langsung atau dalam porsi besar, tapi kalian yang sudah mau masuk dalam proses dan jalanku, menemaniku di beberapa titik, aku mengucapkan terima kasih. Tidak mudah memang berteman denganku, tidak mudah memang ber-anak-kan aku, tidak mudah memang bersahabat denganku, tapi ketika aku merasakan ketulusan dan kebaikan kalian, aku akan berusaha memberikan hal yang sepadan atau bahkan lebih. Mungkin tidak saat ini, tapi suatu hari nanti. Pasti. Kalaupun aku belum sempat, aku yakin Tuhan selalu melihat segalanya. Aku sayang kalian.

Sampai kata ini, aku tidak tahu sudah mengetik apa saja. Tapi intinya, aku bersyukur di usiaku yang sudah mencapai 25 tahun ini, aku masih diperbolehkan untuk berusaha, untuk menghadapi tantangan, untuk terus merasa, untuk tetap berbagi, untuk mengenal diri, untuk memiliki orang-orang hebat di sekelilingku, dan untuk terus berpikir bahwa hari esok masih menanti untuk dijalani.

Aku berbeda, kita tidak sama. Mereka mengawali perjalanan kemarin, sementara aku masih mempersiapkan perbekalan untuk perjalan besok sore. Tidak apa-apa. Kalau semua berangkat kemarin, lalu berjalan di jalan yang sama terus hingga sampai di titik yang sama, mana ada proses seru menyemangati dan disemangati? Mana ada proses jatuh dan dibantu berdiri? Mana ada proses tertinggal dan usaha membuktikan diri? Mana ada proses menangis dan berbangga akan pencapaian diri?

Perjalanan kita dimulai di waktu yang berbeda karena tujuan kita pun berbeda. Akan seru jika suatu saat nanti kita berpapasan di persimpangan atau di tempat istirahat atau di manapun itu dan kita bertukar cerita tentang perjalanan masing-masing dan mendapat semangat untuk melanjutkan perjalanan masing-masing dan mendapat pelajaran untuk meningkatkan kualitas perjalanan. Hingga akhirnya masing-masing kita tiba di tujuan kita, lalu kita saling memberi selamat dan peluk kebanggaan akan keberhasilan satu sama lain. Dan akan muncul perjalanan baru yang lain lagi dan prosesnya akan semakin seru dan tentunya berbeda. Begitu terus. Karena itulah hidup.

Yuk ah, lanjut jalan. Udah berhenti berapa lama nih, buat baca tulisan ini?



Mucho amor,
el


Comments

Post a Comment

Popular Posts