Ia dan Perpisahan
Ia tidak tahu pasti apa yang menuntunnya ke sini. Perpisahan.
Perpisahan itu sungguh nyata dan akan segera terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 x 24 jam. Segala rasa dan harapnya semakin nampak jelas di titik ini. Kedua hal itu berjalan sendirian selama ini. Teman seperjalanan dalam menempuh jalan setapak yang berliku selama ini hanyalah keinginan semu. Hanya angin, hujan, dan senja, tiga hal favoritnya yang selalu menemani setiap langkah yang penuh ragu itu.
Sudah beberapa waktu ini ia selalu menemukan dirinya tersenyum dalam hangat dan tulus yang tak terbayangkan sebelumnya. Menatap permukaan danau yang tenang, kemudian memejamkan mata menikmati setiap hembus angin yang menimbulkan gemerisik rumput di seberang danau. Kelegaan itu sudah mulai datang menemani perjalanannya, menemaninya. Menggantikan posisi sosok yang tak akan pernah hadir di sana, dalam perjalanannya.
Baru saja, ia menginjak kerikil-kerikil yang berserakan di depan sebuah gapura yang siap mengantarnya tiba di sebuah kota baru, yang sudah lama ini ia cari dalam perjalanannya dalam kesendirian. Sedikit perih, karena kaki yang mengering dan mengusam itu tak beralaskan apa pun. Kaki yang lelah menapaki berbagai kontur tanah, kaki yang selalu ingin beristirahat, kaki yang selalu ingin menyalurkan sinyal keluhan untuk disampaikan mulut.
Dalam keikhlasannya, berjalan di atas kerikil-kerikil itu merupakan sebuah titik untuk mengucapkan selamat tinggal pada jalan setapak yang sudah dilaluinya, yang nampak tak berujung di belakangnya; juga mengucapkan selamat datang di sebuah tempat baru yang menjanjikan jalan setapak yang empuk dengan tanah empuk nan rata membentuk alur jalan yang menuntunnya pada suatu titik di depan sana. Dengan pohon-pohon tinggi di setiap sisi yang akan menjaganya agar tetap merasakan kesejukan setiap kisah ke depan.
Banyak hal-hal kecil yang tak diperhatikannya selama berjalan menyusuri jalan setapak di belakang sana. Hal-hal kecil yang ia sayangkan karena tidak mendapatkan perhatiannya. Namun hal-hal itu sudah tertinggal di belakang sana. Hatinya tidak ingin kembali menyusuri jalan setapak itu. Hatinya ingin menyusuri jalan setapak yang terbentang di depan. Hatinya berjanji akan memerhatikan setiap hal, bahkan yang terkecil, yang disediakan kota itu. Kota yang akan menjadi tempat persinggahan kisahnya yang baru...
Selamat jalan, kamu.
Kamu mewujudkan mimpimu di sana,
aku di sini pun begitu.
Ini bukan saat kita.
Suatu saat kita akan bertemu kembali
dengan kisah masing-masing.
Tuhan memberkatimu!
July 12th 2013, D-1
(Agatha Elma Febiyaska)
Comments
Post a Comment