Ia dan Waktu
Rasa itu tiba-tiba datang dan menghimpit segalanya…
Ia sedang dalam
perjalanan pulang menuju rumahnya ketika sesak itu menghimpitnya. Air matanya
terdorong keluar. Ia berusaha menahan dan menolak sesak yang semakin menjadi,
namun sia-sia.
Hari ini, perpisahan itu
terasa semakin nyata dan dekat. Sosok itu sudah menggapai satu mimpi kecilnya. Sebentar
lagi, benar-benar sebentar lagi, sosok itu akan benar-benar lepas dari
genggamannya, dari tatapannya, namun tidak dari kisah, memori, dan hatinya.
Apakah hal itu yang
menyebabkan air matanya keluar dan membuatnya harus berhati-hati dalam menjaga
laju kendaraannya agar tetap stabil? Ia tidak tahu. Itu terlalu tiba-tiba. Tapi
kalau memang iya, ia sangat mensyukuri tetes demi tetes air mata yang mengalir
dan mengering bersama desir angin malam. Itu berarti bahwa ia masih bisa
merasakan hatinya.
Ya, ia belum bisa
melepaskan sosok itu. Seperti sudah dikatakan berkali-kali, sosok itu terlalu
berarti dalam hidupnya. Ia seakan tidak peduli sosok itu akan pergi ke manapun.
Ia akan terus menaruh harap dan doa padanya. Tidak berharap yang buruk, namun
sebaliknya. Apapun yang terjadi kelak, ia hanya ingin sosok itu merasakan bahwa
ia selalu ada, selalu menunggu dalam heningnya rasa, selalu berharap dalam
luka, selalu menerima dalam getir……. selama 32 bulan 24 hari.
Ia ingin melihat sosok
itu lagi dan lagi sebelum akhirnya harus terpisahkan oleh jarak, waktu, dan
mimpi. Ia menyayangi sosok itu. Sungguh. Dalam. Hening.
Waktu semakin mengejarnya…
Kamar, 22:50
(Agatha Elma Febiyaska)
Comments
Post a Comment