My Life in 35 Days Ago


Tiga puluh lima hari berlalu...
            Banyak, banyak sekali hal yang terjadi dalam tiga puluh lima hari yang lalu. Berbagai kejadian yang mungkin sedikit mengubah hidup dan cara pandangku, ata bahakn tidak sama sekali, telah kualami. Tidak semua kejadian berhubungan, tentu. Dalam satu hari ada beberapa kejadian pastinya. Tidak banyak yang dapat kuingat dengan kemampuan mengingatku yang terbatas ini...

            Malam ketika aku senang mendapat teman baru saat jaga parkir di gereja (sebenarnya dia kakak kelasku SMP) terus makan bareng sama temen-temen sehabis jaga parkir. Semuanya penuh tawa. Sampai ada sebuah panggilan di ponselku. Om Atok meninggalkan kami semua, pulang ke rumah Bapa di Surga. Kejadian selanjutnya berlangsung penuh kesedihan dan tumpahan air mata... “Kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal dari sebuah kebahagiaan abadi.”

            Hari terus berjalan. Intensifikasi (pendalaman materi) pagi dimulai, lalu disusul inten sore. Senin, Selasa, dan Kamis aku harus berangkat sekolah pukul 06.00 untuk memastikan aku tidak terlambat mengikuti inten pagi. Dan spesial untuk hari Selasa dan Kamis, tidak hanya masuk pukul 06.30, tetapi juga harus pulang pukul 16.15 karena ada inten sore. Nampaknya tidak cukup sampai di situ, setiap Senin, Rabu, dan Jumat pun aku harus les di sebuah lembaga bimbingan belajar. Namun di penghujung bulan, aku memutuskan untuk tidak lagi les di lembimjar tersebut dan memilih untuk mengambil les privat, hanya untuk pelajaran matematika (karena inilah kelemahanku)... “Keluh, malas, lelah, emosi, tekanan. Semua adalah pembimbing menuju kesuksesan yang tinggal menghitung hari.”

            Guru saling berusaha mencapai garis finish semester satu. Guru mengajak berlari, saya dan teman-teman pun harus merasakan tekanan tambahan. Materi yang terus dikejar, ulangan demi ulangan, lembar demi lembar tugas. Semuanya harus dijalani dengan deadline yang begitu mepet. Dan itu cukup membuat tertekan kalau tidak bisa  mengatur jadwal dengan baik. “Menunda adalah awal sederhana dari sebuah kegagalan.”

            Untuk menyeimbangkan kegiatan akademik yang semakin menggila, aku pun cukup banyak melakukan kegiatan pelayanan gereja. Latihan koor untuk EKM awal Oktober, melatih misdinar, jaga parkir mudika dan misdinar. Pergi ke gereja setiap minggu juga aku lakukan sebagai bagian dari kebutuhan. Aku lakukan itu semua agar aku tak tebuai dengan akademik. “Hal-hal duniawi tidak menjamin kehidupan surgawimu kelak.”

            Sementara kami, siswa kelas XII, berkutat mempersiapkan diri untuk UN dan SNMPTN, sahabat SMP saya, Monic malah mau ke Aussie. Dia mengundurkan diri dari SMA, lalu akan melanjutkan college selama 8 bulan di Aussie, lalu mengambil kuliah interior design. Aku dan Lisa (kami biasa berkumpul bertiga beberapa bulan sekali di tempat yang berbeda-beda) hunting something untuk dikasih ke Monic. Akhirnya pilihan kami jatuh pada tempat pensil unyu bin aneh. Itu kami berikan saat farewell kecil-kecilan yang kami adakan bertiga di sebuah kedai susu. Monic senang dan berjanji akan menyimpannya (haruslah!). Seminggu setelah itu, Monic berangkat (Rabu, 5 Oktober, 17:55) sayang sekali aku dan Lisa tidak bisa mengantar kepergiannya di airport. Tapi kami berjanji akan ‘arisan’ lagi bulan Desember saat Monic pulang. “Setiap orang memiliki kesempatan bagus yang berbeda. Namun janganlah iri hati melihat kesempatan bagus yang dimiliki orang lain. Aku memiliki kesempatan bagusku sendiri. Pasti. Kelak...”

            Pilek yang tak kunjung sembuh dan alergi, tuntas membaca puisi dan berhasil membantu teman menuntaskan nilai mereka, maju mengerjakan soal matematika di depan, tuntas ulangan Jerman-Matematika-Akuntansi, tidak tuntas penilaian servis voli (selalu begini), dapet nilai pas-pasan untuk ulangan lisan sosiologi, tuntas penilaian lay up (“Lha itu bisa!” kata guru olah ragaku), menjajal cafe ber-hotspot bareng Tambun dan sempet panik karena uang kami kurang untuk membayar apa yang kami beli, ketahuan foto-foto pake webcam di perpus saat seharusnya mencari materi tugas kelompok bahasa jawa (“Astaghfirullah...” kata guru bahasa jawaku sambil geleng-geleng), finally got my driving lisence, dolan bareng CWT, galau akademik, dan masih banyak hal-hal kecil tapi besar yang, seperti sudah kubilang tadi, tidak banyak yang dapat kuingat dengan kemampuan mengingatku yang terbatas ini.

            Midtest! Berusaha untuk serius menghadapinya. Tapi apadaya, tetep aja males belajar. Tetep les, tetep baca buku, tetep berusaha bangun jam 3 pagi (baca buku 10 menit - baca timeline twitter 30 menit - tidur lagi), tapi tetep aja nggak lancar pas ngerjain soal. Apalgi pas matematika. Kacau. Terus, untuk beberapa mata pelajaran, aku berteguh hati untuk tidak mencontek dan memberikan contekan, tapi akhirnya keteguhanku luluh juga di hari-hari terakhir. Apalagi di midtest penjaskes. Kalo yang lainnya sih cuma tanya 1-2 nomer, yang lain silang indah dan mengarang bebas. Kalo ada yang nyontek jawabanku, aku biarin aja. Itung-itung nambah temen nilai jelek kan yaaa... “Kemalasan adalah musuh terbesar dalam hidup! Bagaimana cara mengalahkannya? Semua tergantung pada niat kita.”

            Waikiiiii.....
            Di balik semua kesibukan itu, ada satu hal yang berusaha aku hindari: terus-menerus memikirkan Kak Ubuy! ‘Kegiatan’ itu hanya membuatku terus melihat segala hal dari sisi sendu. Yah, nggak bisa dipungkiri kalo ‘usaha pelarian’ku itu nggak sepenuhnya berhasil. Lha wong denger suara othok.. othok.. othok.. othok.. atau melihat benda yang menghasilkan suara itu saja sudah membuatku makdheg dan langsung menghela nafas karena tiba-tiba keinget satu hal yang aku suka banget: ketawa dan senyumnya Kak Ubuy! Terus, liat warna khasnya dia aja langsung yeeerrr... yeeeerrr... racetho ngono kae rasane. Berlebihan ya? Tapi ya itulah yang dirasain kalo kamu lagi jacyuh cincyah ♥
Dan yang bikin warwerwor itu ya pas ituuuuu.... Haaaiiissshh... males mengingatnya. Ntar juga bakalan ada cerpen-cerpen menye nan njlêmék. “Cinta emang terkadang bikin kamu lembek dan kacau, tapi pasti ada cara untuk menyalurkannya ke hal yang lebih positif!”
            Tiga puluh lima hari yang penuh sensasi, penuh emosi, penuh ekspresi, dan penuh atraksi berhasil dilalui! YEAH! Chibi.. chibi.. chibi... Uppssss!
            



Kamar, Lupa kapan.
(Agatha Elma Febiyaska)

Comments

Popular Posts